LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Kisah Mullah Nasrudin: Jamuan Makan untuk Baju

Kisah Mullah Nasrudin Jamuan Makan untuk Baju

Suatu malam, seorang saudagar kaya raya menggelar pesta perjamuan yang sangat meriah. Ia mengundang banyak orang terpandang, mulai dari pejabat kota, pedagang sukses, hingga para cendekiawan. Aroma daging panggang dan rempah-rempah menyeruak hingga ke jalanan, menggoda siapa saja yang lewat.

Mullah Nasrudin, yang merupakan salah satu tamu yang diundang, memutuskan untuk hadir. Namun, karena terburu-buru dan tidak terlalu memusingkan penampilan, ia datang mengenakan pakaian sehari-harinya: jubah tua yang warnanya sudah memudar, surban yang lusuh, dan sepatu yang berdebu.

Sesampainya di pintu gerbang, suasana pesta begitu gemerlap. Namun, ketika Nasrudin melangkah masuk, tak ada satu pun pelayan yang menyambutnya. Sang Tuan Rumah, yang sibuk menyalami tamu-tamu bergamis sutra, hanya melirik sekilas ke arah Nasrudin dengan tatapan meremehkan, lalu membuang muka seolah tak melihat siapa-siapa.

Nasrudin mencoba mendekati meja hidangan, namun para tamu lain mendesaknya minggir. Ia merasa asing dan tak dianggap. Tidak ada senyum ramah, tidak ada tawaran tempat duduk, apalagi sepiring makanan. Dengan hati dongkol dan kecewa, Nasrudin akhirnya memutar balik langkahnya dan pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Nasrudin segera membongkar lemarinya. Ia mengambil jubah terbaiknya yang terbuat dari kain satin mengkilap, mengenakan surban baru yang indah, dan mematut diri agar tampak seperti seorang bangsawan agung.

Dengan langkah tegap dan penuh percaya diri, ia kembali ke rumah saudagar kaya itu. Perbedaannya sungguh drastis bagaikan bumi dan langit. Baru saja kakinya menapak di halaman, pelayan-pelayan langsung berlari menghampirinya, membungkuk hormat, dan membukakan jalan.

"Ah, Mullah Nasrudin! Suatu kehormatan bagi kami!" seru Sang Tuan Rumah dengan senyum lebar yang dibuat-buat. Ia segera menggiring Nasrudin ke meja utama, tepat di sebelah dirinya. "Silakan, silakan duduk di tempat paling nyaman ini. Kami sudah menyiapkannya khusus untuk Tuan."

Hidangan-hidangan lezat segera disajikan di hadapannya: sup kental yang hangat, daging domba paling empuk, dan buah-buahan segar. Semua mata memandang Nasrudin dengan takzim, menunggu sang orang bijak mulai menyantap hidangannya.

Namun, yang dilakukan Nasrudin justru membuat semua orang terbelalak. Alih-alih menyendok sup ke mulutnya, Nasrudin melepas jubah luarnya yang indah itu. Ia mendekatkan lengan baju jubah tersebut ke dalam mangkuk sup, lalu menggosokkan kuah daging ke kain sutranya yang mahal.

"Makanlah! Ayo makanlah!" seru Nasrudin lantang kepada bajunya. "Hei baju baru, makanlah sepuas-puasmu! Jangan malu-malu, habiskan semua hidangan lezat ini!"

Seketika, suasana pesta menjadi hening. Sang Tuan Rumah tampak bingung dan sedikit tersinggung. "Mullah, apa yang sedang Anda lakukan?" tanya Tuan Rumah dengan suara bergetar. "Mengapa Anda memberi makan baju Anda? Apakah Anda sudah gila?"

Nasrudin berhenti sejenak, menatap Tuan Rumah dengan tenang, lalu tersenyum penuh arti. "Tuan yang baik," jawab Nasrudin lantang agar semua orang mendengar. "Tadi aku datang ke sini dengan tubuh dan wajah yang sama, tetapi memakai baju yang tua dan jelek. Saat itu, tak ada seorang pun dari kalian yang menyambutku, apalagi menawarkanku sepotong roti."

Nasrudin mengangkat jubahnya yang kini berlumuran kuah. "Namun, ketika aku pulang dan kembali hanya dengan mengganti pakaianku menjadi lebih indah, kalian menyambutku bak raja dan menyuguhkan makanan terbaik. Maka jelaslah, penghormatan dan makanan enak ini bukan ditujukan untukku, melainkan untuk bajuku. Jadi, wajar saja jika aku membiarkan baju ini menikmati apa yang menjadi haknya."

Sang Tuan Rumah dan para tamu terdiam seribu bahasa, wajah mereka merah padam karena malu menyadari kedangkalan sikap mereka sendiri.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik dari Kisah Mullah Nasrudin: Jamuan Makan untuk Baju

1. Menghindari Penghakiman Berdasarkan Penampilan

Kisah ini merupakan kritik tajam terhadap masyarakat yang menilai seseorang hanya berdasarkan lapisan luar atau atribut materi yang dikenakannya. Perlakuan yang diterima Nasrudin pada kunjungan pertamanya yang kontras dengan kunjungan keduanya menunjukkan betapa rapuhnya standar sosial yang berpegangan pada kemewahan dan status. Penghormatan yang sejati seharusnya diberikan kepada karakter, kebijaksanaan, atau kemanusiaan seseorang, bukan pada kualitas jubah yang menutupi tubuhnya.

Aksi Nasrudin yang "memberi makan baju" adalah sebuah sindiran sarkastik yang menyentak. Tujuannya adalah untuk memaksa Tuan Rumah dan para tamu melihat betapa memalukannya standar ganda mereka. Jika pakaian adalah kunci masuk ke dalam komunitas dan mendapatkan pelayanan, maka pakaianlah yang layak mendapatkan hidangan tersebut, bukan individu yang berada di dalamnya. Hal ini mengajarkan bahwa fokus pada penampilan dapat membutakan kita dari melihat nilai hakiki seseorang.

2. Pentingnya Integritas Diri di Atas Kepura-puraan

Meskipun Nasrudin harus mengenakan pakaian mewah untuk mendapatkan perhatian, ia tidak pernah kehilangan dirinya sendiri. Ia menggunakan kepura-puraan (pakaian mahal) sebagai alat untuk menyampaikan sebuah kebenaran yang lebih dalam, bukan untuk menikmatinya. Ia membuktikan bahwa ia tidak menghargai kehormatan palsu yang diperoleh melalui tipuan materi.

Nilai moral ini menekankan bahwa penerimaan yang didasarkan pada kekayaan atau penampilan luar adalah bentuk penerimaan yang kosong dan tidak bernilai. Sebaliknya, integritas sejati berarti kita tetap berharga dan utuh, terlepas dari bagaimana orang lain memperlakukan kita berdasarkan kekayaan atau kemiskinan kita. Nasrudin, dengan cara uniknya, berhasil menelanjangi kepura-puraan sosial tersebut.

Posting Komentar