LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Cerita Rakyat Jawa Tengah: Kisah Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang

Kisah Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang: Legenda Seribu Candi (Cerita Rakyat Jawa Tengah)

Dahulu kala, terdapat dua kerajaan besar yang saling bertetangga namun menyimpan bara permusuhan. Kerajaan Pengging yang subur dan makmur dipimpin oleh Prabu Damar Maya yang bijaksana namun ambisius. Di negeri tetangga, berdiri Kerajaan Prambanan yang megah namun menakutkan, dipimpin oleh Prabu Baka. Prabu Baka bukanlah manusia biasa; ia adalah sosok bertubuh raksasa, tinggi menjulang dengan kekuatan yang mampu meruntuhkan bukit.

Konflik bermula ketika Prabu Baka, didorong oleh hasrat membara untuk memperluas wilayah kekuasaannya, mengerahkan pasukannya menyerang perbatasan Pengging. Namun, Prabu Damar Maya tidak tinggal diam. Menghadapi ancaman itu, ia mengutus putranya, seorang pangeran dengan kesaktian mandraguna dan ahli strategi perang bernama Bandung Bondowoso.

Medan perang berubah menjadi lautan darah dan debu. Pasukan Prambanan yang dipimpin para tentara bertubuh raksasa tampak mendominasi, hingga akhirnya Bandung Bondowoso maju ke garis depan. Dalam satu kesempatan, sang pangeran berhadapan satu lawan satu dengan Prabu Baka. Pertarungan itu mengguncang bumi. Prabu Baka mengayunkan gada besarnya, menghancurkan bebatuan di sekitarnya, namun Bondowoso bergerak lincah bak bayangan.

Di puncak pertarungan, Bandung Bondowoso mengeluarkan senjata saktinya. Dengan rapalan mantra kuno, senjata itu menghunjam tepat ke dada sang raja bertubuh raksasa. Prabu Baka meraung dahsyat sebelum akhirnya roboh tak bernyawa. Melihat rajanya tewas, pasukan Prambanan lari tunggang langgang. Kemenangan mutlak berada di tangan Pengging.

Dengan gagah berani, Bondowoso memimpin pasukannya menyerbu masuk ke pusat ibu kota Prambanan. Ia menduduki istana dan menancapkan panji-panji Pengging di menara tertinggi. Namun, di tengah euforia kemenangan itu, langkah sang pangeran terhenti. Di salah satu pendopo istana, ia melihat sosok perempuan yang kecantikannya seolah memadamkan api peperangan. Dia adalah Roro Jonggrang, putri semata wayang Prabu Baka.

Duka mendalam tampak di wajah sang putri yang baru saja kehilangan ayahnya, namun hal itu justru menambah aura keanggunannya. Bondowoso seketika terpaku. Jantungnya berdegup kencang karena panah asmara yang menghujam pada pandangan pertama.

Otak cerdas sang pangeran segera berputar. Ia menyadari sebuah peluang emas. Hasrat pribadinya menginginkan Roro Jonggrang, tetapi naluri politiknya juga berbicara. “Jika aku menikahi putri ini,” pikirnya, “maka rakyat Prambanan akan tunduk tanpa perlu pertumpahan darah lebih lanjut. Tidak akan ada pemberontakan, dan dendam atas kematian raja mereka akan teredam.”

Tanpa membuang waktu, Bandung Bondowoso menemui Roro Jonggrang dan mengutarakan niatnya. "Wahai Putri yang jelita, negerimu kini di bawah kuasaku. Namun, aku tidak ingin memimpin dengan tangan besi. Jadilah permaisuriku, dan kita akan memerintah Prambanan bersama-sama."

Roro Jonggrang terperanjat. Hatinya menjerit menolak. Bagaimana mungkin ia menikahi pria yang tangannya berlumuran darah ayahnya? Kebencian membara di dadanya, namun ia sadar posisinya sangat lemah. Jika ia menolak mentah-mentah, nyawanya dan nasib seluruh rakyat Prambanan yang tersisa akan terancam. Ia membutuhkan siasat.

"Hamba bersedia menerima lamaran Tuan," jawab Roro Jonggrang dengan suara bergetar namun tegas, "tetapi hamba memiliki dua syarat yang harus dipenuhi sebagai bukti kesungguhan Tuan."

Bondowoso tersenyum angkuh. "Sebutkan, Dinda. Gunung pun akan kupindahkan untukmu."

"Pertama, buatkan hamba sumur raksasa yang airnya tak akan pernah habis untuk menghidupi rakyatku. Kedua, bangunkan seribu candi megah untuk menghormati leluhur hamba. Dan ingat, seribu candi itu harus selesai dalam waktu satu malam, sebelum ayam berkokok."

Bandung Bondowoso menyanggupi tanpa ragu. Untuk syarat pertama, ia segera pergi ke lokasi yang ditentukan. Namun, tanah di sana begitu keras dan berbatu. Menyadari tenaga manusia tak akan cukup cepat, Bondowoso merapalkan mantra pemanggil arwah. Seketika, ratusan jin muncul dari kegelapan, membantu menggali tanah dengan kecepatan yang tak masuk akal.

Dari kejauhan, Roro Jonggrang mengamati dengan seksama. Ia melihat makhluk-makhluk halus itu bekerja di bawah perintah Bondowoso. Dari pengamatan inilah, sang putri menyadari satu kelemahan fatal pasukan tersebut: Mereka adalah makhluk kegelapan yang hanya bisa bekerja efektif sejak senja hingga fajar. Mereka takut pada matahari.

Sebelum fajar, sumur yang sangat luas dan dalam itu sudah jadi. Bandung Bondowoso pun turun ke dasar sumur untuk memeriksa aliran airnya. Saat itulah, Roro Jonggrang menjalankan rencana liciknya. Bersama Patih Gupala, abdi setianya, ia memerintahkan prajurit tersisa untuk menimbun sumur itu dengan batu-batu besar dan tanah, berniat mengubur Bondowoso hidup-hidup.

Namun, Roro Jonggrang meremehkan kesaktian sang pangeran. Dengan kekuatan tenaga dalam yang dahsyat, Bondowoso meledakkan timbunan batu itu dan melesat keluar. Ia berdiri di bibir sumur dengan wajah merah padam dan mata yang menyala penuh amarah. "Kau mencoba membunuhku, Jonggrang?!" teriaknya.

Roro Jonggrang gemetar ketakutan. Namun, cinta Bondowoso yang begitu besar bercampur dengan obsesinya untuk memiliki sang putri, membuatnya menelan kembali amarahnya. "Baiklah," desisnya sambil menahan geram. "Aku ampuni pengkhianatanmu kali ini. Tapi ingat, jika aku berhasil mewujudkan seribu candi itu malam ini, kau harus menepati janjimu untuk menjadi istriku. Tidak ada lagi penolakan!"

Ketika senja kembali menyapa dan langit berubah menjadi kelabu pekat, Bandung Bondowoso berdiri di tanah lapang yang luas. Ia duduk bersila, memusatkan perhatian dan energinya. Mulutnya komat-kamit memanggil bala tentara gaib yang lebih besar dari sebelumnya.

"Wahai para penghuni kegelapan, para jin, banaspati, dan makhluk halus! Tunduklah pada perintahku! Bangunlah seribu candi di tanah ini sebelum fajar menyingsing!"

Angin ribut bertiup kencang. Ribuan bayangan hitam muncul dari segala penjuru. Suara gemuruh batu-batu yang disusun terdengar mengerikan, berpadu dengan suara desis dan geraman makhluk halus. Candi-candi mulai berdiri satu per satu dengan kecepatan yang mustahil dilakukan manusia. Seratus, dua ratus, tiga ratus... hingga lewat tengah malam, jumlahnya sudah lebih dari lima ratus.

Roro Jonggrang yang memantau dari kejauhan dilanda kepanikan luar biasa. Ia mondar-mandir di kamarnya, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Patih, kita celaka! Candi-candi itu hampir selesai, padahal fajar masih jauh!" serunya putus asa. "Jika dia berhasil, aku harus menikah dengan pembunuh ayahku!"

Di tengah keputusasaan, ia teringat pada kelemahan pasukan jin yang ia lihat saat pembuatan sumur. Mereka takut pada cahaya dan tanda-tanda pagi.

"Bangunkan semua perempuan desa!" perintah Roro Jonggrang dengan mata menyala. "Suruh mereka menumbuk padi di lesung sekeras-kerasnya! Bakar jerami di sisi timur istana! Buatlah langit menjadi terang dan suasana menjadi gaduh seolah pagi telah tiba!"

Perintah itu menyebar cepat. Dalam sekejap, suasana malam yang hening pecah. Suara duk-duk-duk dari alu yang menghantam lesung bertalu-talu, membangunkankan ayam-ayam jantan yang mengira hari sudah pagi. Ayam-ayam itu pun mulai berkokok bersahutan. Sementara itu, api besar dari pembakaran jerami membuat langit timur memerah, memancarkan rona jingga layaknya fajar.

Di lokasi pembangunan candi, para jin yang sedang meletakkan batu-batu seketika panik. "Matahari terbit! Fajar telah tiba! Kita akan hangus!" teriak mereka ketakutan.

Tanpa memedulikan teriakan Bandung Bondowoso yang memerintahkan mereka untuk tetap tinggal, pasukan jin itu lari tunggang langgang, masuk kembali ke perut bumi, meninggalkan pekerjaan mereka yang nyaris sempurna.

Bondowoso terperangah. Ia melihat ke langit timur, lalu menyadari bahwa cahaya itu tidak wajar. Ia mendengar suara lesung, namun udara masih terasa dingin khas malam hari. Ia sadar, ia telah ditipu untuk kedua kalinya.

Dengan langkah berat penuh emosi, ia berjalan menghitung jumlah candi yang berdiri. "Satu... sepuluh... seratus... sembilan ratus sembilan puluh sembilan."

Hanya kurang satu. Satu candi lagi untuk menggenapkan seribu.

Roro Jonggrang datang menghampirinya, mencoba bersikap seolah-olah pagi memang telah tiba. "Tuan, ayam sudah berkokok. Waktu telah habis, dan jumlah candi belum genap seribu. Lamaran Tuan batal."

Bandung Bondowoso menatap Roro Jonggrang dengan tatapan yang sangat tajam, campuran antara cinta yang hancur, harga diri yang terinjak, dan kemurkaan yang tak terbendung.

"Jonggrang," suaranya terdengar rendah namun menggelegar, "Kau curang. Kau menggunakan tipu muslihat untuk mengusir pasukanku. Kau pikir aku tidak tahu akal bulusmu membakar jerami dan memukul lesung?"

Sang pangeran melangkah maju, membuat Roro Jonggrang mundur ketakutan.

"Aku sudah memberikan segalanya. Aku mengampuni nyawamu di sumur itu. Aku membangunkan keajaiban untukmu. Tapi kau justru mempermainkan ketulusanku dan menghinaku sebagai seorang ksatria!"

Jari telunjuk Bandung Bondowoso menuding tepat ke wajah sang putri. Matanya memancarkan kilatan magis.

"Jika candi ini kurang satu, dan kau begitu keras kepala tak ingin menjadi istriku, maka biarlah kau sendiri yang melengkapinya! Jadilah engkau arca untuk candi yang keseribu!"

Blaaar!

Langit bergemuruh hebat seiring selesainya kutukan itu terucap. Tubuh Roro Jonggrang seketika kaku. Kulitnya yang halus perlahan mengeras dan berubah warna menjadi kelabu. Jeritan tertahan di tenggorokannya saat perlahan tapi pasti, putri cantik itu berubah menjadi patung batu yang dingin, membeku dalam keabadian.

Bandung Bondowoso terdiam, menatap arca batu di hadapannya. Kemarahannya perlahan surut, digantikan oleh penyesalan yang terlambat. Ia telah memenangkan peperangan, menaklukkan kerajaan, namun ia kalah telak dalam memenangkan hati seorang wanita.

Konon, Sumur Jalatunda yang berada di Jawa Tengah diyakini sebagai sumur yang dibuat oleh Bandung Bondowoso. Sementara itu, Arca Durga yang berada dalam kompleks Candi Prambanan dipercaya sebagai tubuh Roro Jonggrang yang dikutuk, dan 999 candi lainnya dikenal sebagai Candi Sewu (Candi Seribu). Semua itu menjadi saksi bisu kisah cinta tragis, ambisi kekuasaan, dan tipu muslihat yang berakhir dengan kutukan abadi.

Catatan Terkait Kisah Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang

1.Terdapat banyak detail yang ditambahkan ke dalam cerita asli untuk memperkuat narasi cerita, contohnya pembuatan sumur (dalam mitos dikenal dengan nama Sumur Jalatunda) yang dibantu oleh jin. Dalam dongeng standar, hanya disebutkan permintaan pembuatan sumur tanpa ada penyebutan bantuan dari jin.

2.Perlu diketahui bahwa dalam berbagai versi penuturan legenda, nama tokoh dan kerajaan seringkali memiliki variasi. Roro Jonggrang dikenal pula sebagai Loro Jonggrang, Rara Jonggrang, atau Lara Jonggrang. Prabu Baka kerap disebut juga Prabu Boko. Bandung Bondowoso disebut juga Bandung Bandawasa. Kerajaan Prambanan yang disebut dalam alur ini juga dikenal dalam versi lain sebagai Kerajaan Baka.

3. Terdapat perbedaan signifikan antara legenda yang beredar dengan fakta arkeologis dan historis:

  • Berdasarkan catatan sejarah, Candi Prambanan dibangun mulai era Rakai Pikatan (Mataram Kuno Hindu), sedangkan Candi Sewu dibangun lebih awal pada era Rakai Panangkaran (Mataram Kuno Buddha).
  • Secara arkeologis Arca Durga adalah candi yang dibangun sebagai perwujudan Dewi Durga Mahisashuramardini.
  • Candi Sewu (Candi Seribu) tidak benar-benar berjumlah seribu. Faktanya jumlah candi di kompleks Candi Sewu hanya sekitar 249 buah.

4. Sumur Jalatunda adalah lokasi nyata yang memiliki penjelasan ilmiah berbeda dari mitos.

  • Lokasi: Terletak di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, bukan di area Prambanan.
  • Dimensi: Memiliki diameter 90 meter dengan kedalaman antara 100 hingga 150 meter.
  • Asal-usul: Secara geologis, sumur ini bukan galian manusia, melainkan kepundan (kawah) gunung berapi meletus yang terisi air hujan hingga membentuk lubang raksasa.

Tertarik membaca cerita rakyat lainnya: silakan kunjungi Kumpulan Dongeng Nusantara dan Cerita Rakyat Indonesia

Posting Komentar