Di Desa Air Manis, pesisir Sumatera Barat, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Ayahnya telah lama meninggal di laut, meninggalkannya hidup berdua dengan ibunya, Mande Rubayah.
Mande Rubayah adalah wanita yang kuat. Meski miskin, ia bekerja keras menjemur dan menjual ikan di pasar. Malam harinya, dengan cahaya pelita kecil, ia mengajari Malin membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
"Kau harus cerdas, Nak," ujarnya. "Jadilah orang besar. Suatu hari, Ibu harap kau bisa berlayar lebih jauh dari kapal-kapal itu, tapi Ibu mohon, jangan pernah lupakan dermaga tempatmu berasal."
Malin tumbuh menjadi anak yang cerdas dan penuh ambisi. Ia bosan dengan kemiskinan. Ia memandangi lautan dan mendambakan kehidupan yang jauh lebih baik daripada sekadar menjadi nelayan.
Kesempatan datang saat Malin berusia dua belas tahun. Sebuah kapal dagang besar milik saudagar kaya bersandar di pelabuhan desa mereka. Mata Malin berbinar melihat kemegahannya.
Dengan tekad baja, ia menemui nakhoda kapal. Ia memohon agar diizinkan ikut berlayar, meski hanya sebagai juru bersih atau pembantu di dapur. Sang nakhoda, melihat kesungguhan di mata Malin, akhirnya setuju.
Perpisahan itu terasa berat. Mande Rubayah memeluk Malin erat, menahan tangis. "Pergilah, Nak. Raih mimpimu. Tapi ingat, hati Ibu selalu ada dalam setiap langkahmu."
Malin mengangguk, lalu naik ke kapal. Ia sudah tak sabar memulai hidup baru, melangkah tegas tanpa menoleh lagi ke arah ibunya yang berdiri mematung di pantai.
Negeri seberang adalah dunia yang sama sekali baru. Kota pelabuhan itu sibuk dan keras. Malin bekerja sangat rajin. Siang ia membersihkan kapal, malam ia belajar ilmu dagang dan navigasi dari buku-buku bekas. Ia adalah pembelajar yang rakus dan tak kenal lelah.
Bertahun-tahun berlalu. Seiring ilmunya bertambah, tumbuh pula kesombongan di hatinya. Malin malu akan masa lalunya yang miskin. Ia tidak mau siapa pun tahu bahwa ia adalah anak janda nelayan. Ia mulai membual kepada rekan-rekannya bahwa ia anak saudagar kaya dan ibunya adalah bangsawan.
Kerja keras Malin akhirnya terlihat oleh pemilik kapal. Sang saudagar tua menyukai kecerdasan dan ambisi Malin. Ia mengangkat Malin menjadi juru tulis, lalu menjadi kepala gudang, hingga akhirnya menjadi orang kepercayaan.
Sang saudagar merasa Malin adalah orang yang tepat untuk meneruskan bisnisnya. Akhirnya, Malin dinikahkan dengan putri tunggal saudagar itu. Pesta mereka sangat meriah.
Ketika saudagar tua wafat, Malin mewarisi seluruh kekayaannya. Ia kini adalah Tuan Malin, saudagar masyhur yang kapalnya berlayar ke seluruh penjuru dunia. Ia telah mengubur dalam-dalam ingatannya tentang Mande Rubayah dan Desa Air Manis.
Tiga puluh tahun telah berlalu sejak Malin pergi. Suatu hari, Malin mengajak istrinya dalam pelayaran besar. Ia ingin mengunjungi Pulau Jawa untuk bisnis sekaligus berwisata melihat arsitektur kerajaan di sana.
Namun, di tengah perjalanan, badai ganas menerjang. Kapal mereka mengalami kerusakan dan terombang-ambing di lautan.
"Tuan Malin, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan!" seru nakhoda. "Kita harus bersandar di pelabuhan terdekat untuk perbaikan!"
Mereka terpaksa merapat di sebuah teluk tenang di pesisir Sumatera Barat.
Saat turun ke pantai, Malin mengenali tempat itu. Aroma garam dan bentuk bukitnya terasa tidak asing. Ada getar aneh di dadanya, namun ia segera menepisnya. "Cepat perbaiki kapalnya!" perintahnya. "Aku tak mau lama-lama di tempat ini."
Berita kedatangan kapal megah itu segera menyebar. Kabar melintas dari pasar ke pasar, hingga akhirnya sampai ke telinga Mande Rubayah.
Mande Rubayah kini telah tua, bungkuk, dan keriput. Namun hati dan pendengarannya masih tajam. Ketika mendengar nama "Malin" disebut, naluri keibuannya meledak. Tiga puluh tahun penantiannya berakhir. Tanpa berpikir panjang, ia berlari sekuat sisa tenaganya menuju pelabuhan.
Di pelabuhan, rombongan Tuan Malin sudah bersiap berangkat. Kapal telah selesai diperbaiki.
"Ayo cepat!" seru Malin kepada para awak kapalnya.
Tiba-tiba, dari kerumunan warga, seorang wanita tua lusuh menerobos barisan penjaga. Matanya tertuju lurus pada pria gagah di geladak. Waktu boleh mengubah rupa, tapi hati seorang ibu tidak pernah salah. Mande Rubayah mengenali putranya.
"Malin!" teriaknya parau. "Malin... Anakku! Kau pulang, Nak!"
Malin menoleh ke sumber suara. Dalam sedetik, ia mengenali wanita itu. Ia mengenal mata itu, mata yang dulu mengajarinya membaca. Itu ibunya.
Tapi ia segera melihat istrinya yang cantik di sampingnya, serta awak kapal yang memandangnya dengan hormat. Lalu ia menatap wanita tua di depannya: miskin, lusuh, dan dekil. Rasa malu yang luar biasa menjalari dirinya. Ini aib.
"Siapa kau, wanita tua?" tanya istri Malin, heran.
Malin tertawa keras. Tawa yang sumbang. "Entahlah. Mungkin pengemis gila yang mengira aku putranya."
Hati Mande Rubayah serasa ditikam. "Malin... Ini Ibu, Nak. Ini Mande Rubayah! Ibu yang melahirkan dan membesarkanmu. Kau tidak ingat Ibu?"
Malin melangkah maju, menatap ibunya dengan dingin. "Ibuku? Ibuku seorang bangsawan! Dia tidak mungkin pengemis sepertimu! Pergi! Jangan kotori kapalku!"
"Malin..." rintih Rubayah, air matanya tumpah. Ia mencoba memeluk kaki putranya.
Malin menendangnya dengan kasar. "Pergi! Enyah kau, perempuan tua!"
Mande Rubayah jatuh terduduk di pasir. Hatinya hancur berkeping-keping. Pria yang ia besarkan dengan cinta kini menolaknya. Sambil memegangi dadanya yang sesak, ia berucap lirih, "Tuhan Maha Melihat, hatimu telah menjadi sekeras batu."
Ia menatap Malin untuk terakhir kalinya. "Semoga engkau kembali pada ibumu."
Malin bergidik mendengar kata-kata itu, tapi kesombongannya lebih besar. Ia berbalik dan memberi perintah, "Angkat sauh! Kita berangkat sekarang!"
Tak lama setelah kapal mewah itu menjauhi teluk, cuaca buruk terjadi lagi. Bahkan kali ini situasi terdahsyat yang pernah Malin temui. Langit gelap gulita di tengah hari. Angin meraung dan ombak menjulang setinggi bukit.
"Tuan Malin, ini tidak wajar! Badai ini...!" teriak nakhoda, wajahnya pucat pasi. "Alam sedang murka. Apakah ini karena kejadian di pantai tadi?"
"Omong kosong!" bentak Malin. "Jangan hubungkan nasib kapalku dengan takhayul bodoh! Cuaca buruk akan segera berlalu. Terus lajukan kapal!"
Namun alam tak bisa ditantang. Petir menyambar tiang utama hingga patah seperti ranting kering. Kapal megah itu oleng tak berdaya dan mulai terbelah dua di tengah lautan.
Di tengah kekacauan itu, saat kapal mulai karam, Malin tiba-tiba teringat satu hal. Bukan kekayaannya. Bukan istrinya.
Ia teringat wajah ibunya. Ia teringat kata-kata terakhir wanita tua itu.
Tuhan Maha Melihat. Hatimu telah menjadi sekeras batu. Semoga engkau kembali pada ibumu.
Kata-kata itu terngiang, membawa penyesalan yang terlambat.
"Ibu, aku kembali padamu, terimalah maaf dan sujud baktiku...!" gumam Malin, sesaat sebelum ombak raksasa menelannya.
Esok harinya, cuaca kembali cerah. Laut tenang seakan tak pernah terjadi apa-apa. Di dekat pelabuhan, para nelayan menemukan pecahan kayu dari kapal mewah itu tersebar di mana-mana.
Namun, ada satu keajaiban. Di tepi pantai, tepat di tempat Mande Rubayah terakhir bersimpuh, muncul sebuah batu besar. Bentuknya aneh. Batu itu menyerupai sosok manusia yang tengah bersujud ke arah daratan. Seakan-akan ia sedang memohon ampun.
Konon, batu itu adalah Malin yang akhirnya merasa menyesal. Doa Mande Rubayah terkabul. Malin kembali pada ibunya, meski dalam wujud batu yang membisu, bersujud selamanya untuk memohon maaf.
Tertarik membaca cerita rakyat lainnya: silakan kunjungi Kumpulan Dongeng Nusantara dan Cerita Rakyat Indonesia

Posting Komentar