Matahari senja mulai memerah ketika Nasrudin tiba di rumah setelah perjalanan jauh. Rasa lelahnya seketika sirna saat melihat istrinya menyambut dengan wajah berseri-seri di ambang pintu. "Suamiku, aku punya kejutan. Ada sepotong daging lezat yang sudah kumasak untukmu," ujar istrinya riang.
Mata Nasrudin langsung berbinar. "Alhamdulillah!" serunya penuh syukur. Sambil menyantap hidangan itu dengan lahap, ia tak henti-hentinya memuji. "Daging memang makanan luar biasa! Ia adalah sumber energi, membuat tubuh kekar, dan pikiran jernih. Benar-benar makanan para raja!"
Keesokan harinya, Nasrudin pulang bekerja dengan perut yang kembali menuntut haknya. Bayangan kelezatan kemarin masih menari di pelupuk matanya. "Adakah daging untukku hari ini?" tanyanya penuh harap begitu melihat istrinya.
Sang istri tersenyum canggung. "Wah, maaf sekali. Hari ini aku tidak membeli daging, uang belanja kita harus dihemat." Mendengar itu, bahu Nasrudin tidak merosot kecewa. Ia justru mengangguk-angguk bijak. "Yah, tidak apa-apa. Lagipula, daging itu sebenarnya sumber masalah. Kalau terlalu sering dimakan, ia mengundang darah tinggi, kolesterol, dan membuat emosi tidak stabil."
Istrinya mengerutkan kening, bingung melihat perubahan sikap suaminya yang begitu drastis dalam 24 jam. "Kemarin kau bilang daging membuat tubuh kuat, sekarang kau bilang daging membawa penyakit. Jadi mana yang benar?" tanya istrinya penasaran.
Nasrudin tersenyum santai sambil menuangkan air putih. "Itu tergantung, Istriku," jawabnya ringan. "Tergantung apakah dagingnya ada di piringku atau tidak."
Pelajaran Yang Dapat Dipeting Dari Kisah Nasruddin: Filosofi Sepotong Daging
1. Mencari Sisi Baik Setiap Keadaan
Nasrudin mengajarkan kita keluwesan sikap agar tidak kaku dan terpaku pada satu kondisi saja. Sikap mental ini penting agar kebahagiaan kita tidak semata-mata digantungkan pada faktor eksternal yang sering berubah-ubah di luar kendali kita.
Ia mencontohkan bagaimana cara bersyukur sepenuh hati saat mendapatkan nikmat, namun tetap mampu mencari sisi positif atau alasan logis yang menenangkan saat nikmat itu hilang. Dengan cara ini, ia tetap bisa merasa baik-baik saja dan tidak larut dalam kesedihan meski situasi tidak berjalan sesuai keinginan.
2. Subjektivitas Kebenaran
Sering kali, apa yang kita anggap sebagai penilaian objektif hanyalah cerminan dari kepentingan atau situasi pribadi kita saat itu. Kebenaran menjadi tidak mutlak, melainkan lentur mengikuti di mana posisi kita berdiri saat melihat masalah tersebut.
Sesuatu bisa kita puji sebagai hal yang sangat "baik" dan bermanfaat saat kita memilikinya di tangan. Namun, hal yang sama bisa mendadak berubah statusnya menjadi "buruk" atau berbahaya ketika kita tidak mampu mendapatkannya, persis seperti pandangan Nasrudin yang berubah-ubah terhadap daging.
3. Mekanisme Menghibur Diri (Rasionalisasi)
Cerita ini memotret sifat alami manusia yang secara tidak sadar sering melakukan rasionalisasi demi melindungi perasaan sendiri. Kita cenderung menciptakan alasan-alasan pembenaran agar kenyataan pahit yang dihadapi tidak terasa terlalu menyakitkan atau mengecewakan.
Tujuannya adalah untuk meredam gejolak emosi negatif. Dengan meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang tidak didapatkan itu sebenarnya "kurang baik" atau memiliki dampak negatif, hati menjadi lebih tenang dan terhindar dari rasa kecewa yang berlarut-larut.

Posting Komentar