LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Kisah Mullah Nasruddin Memberi Minum Jubah Yang Rakus

KISAH MULLAH NASRUDDIN MEMBERI MINUM JUBAH YANG RAKUS

Suatu hari, Mullah Nasrudin menghadiri sebuah pesta pernikahan yang menyajikan hidangan sangat lezat. Di tengah keramaian, matanya tertuju pada seorang sahabat lamanya. Orang itu tampak sangat sibuk; mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara tangannya dengan cekatan menyelinapkan potongan daging, kue, dan buah-buahan ke dalam saku jubahnya yang lebar.

Saku itu kini tampak menggembung, penuh sesak oleh makanan. Melihat kerakusan yang tak tahu malu itu, Nasrudin perlahan mengambil sebuah teko berisi air teh. Tanpa ragu, ia mendekat dan dengan tenang menuangkan isi teko itu tepat ke dalam saku sahabatnya.

Sontak saja, sahabatnya melonjak kaget. Jubahnya basah kuyup, dan makanan di sakunya hancur berantakan. Dengan wajah merah padam karena marah, ia berteriak, "Hei, Nasrudin! Kau sudah gila?! Kenapa kau menuangkan air ke dalam sakuku?!"

Nasrudin menatapnya dengan wajah polos penuh keprihatinan, lalu menjawab santai:

"Jangan marah begitu, Kawan. Aku perhatikan kantong jubahmu rakus sekali menelan semua makanan itu. Aku cuma takut dia tersedak karena makan sebanyak itu tanpa diberi minum!"

Pelajaran yang dapat dipetik dari Kisah Mullah Nasruddin Memberi Minum Jubah Yang Rakus

1. Mentalitas "Aji Mumpung" yang Tak Tahu Tempat

Cerita ini menyoroti tabiat sebagian orang yang gemar memanfaatkan situasi, seperti pesta gratis, untuk mengeruk keuntungan pribadi secara membabi buta. Mereka hadir bukan dengan niat tulus menghormati tuan rumah, melainkan melihat acara tersebut sebagai ladang kesempatan. Sikap ini mencerminkan mentalitas "aji mumpung" di mana seseorang merasa berhak mengambil sebanyak-banyaknya hanya karena ada kesempatan, tanpa memedulikan kepantasan sosial atau hak tamu lainnya.

Lebih jauh lagi, perilaku ini menunjukkan betapa keserakahan dapat menumpulkan rasa empati. Tuan rumah menyediakan hidangan untuk dinikmati bersama di tempat, bukan untuk dijarah pulang. Ketika kita mengambil melebihi porsi wajar hingga menyimpannya di saku, kita sebenarnya sedang merampas hak tamu lain dan mencederai kepercayaan tuan rumah. Mentalitas seperti ini, jika dibiarkan, akan membentuk karakter yang selalu merasa kurang dan sulit bersyukur.

2. Pentingnya Menjaga Adab dan Martabat

Perilaku membungkus makanan secara berlebihan dan sembunyi-sembunyi di acara umum adalah tindakan yang secara langsung merendahkan harga diri. Kisah ini menjadi pengingat keras bahwa kehormatan seseorang tidak ditentukan oleh pakaian mewah yang dikenakannya, melainkan oleh adab dan tata krama yang ditunjukkannya. Ketika seseorang menukar martabatnya hanya demi beberapa potong makanan, ia sedang "menjual" harga dirinya dengan harga yang sangat murah.

Menjaga adab makan dan bertamu adalah cerminan dari kedewasaan jiwa dan pengendalian diri. Orang yang bermartabat akan merasa cukup dengan apa yang disajikan untuk disantap di tempat. Ia menyadari bahwa pandangan hormat dari masyarakat dan ketenangan batin jauh lebih berharga daripada sekadar perut yang kenyang atau saku yang penuh. Rasa malu seharusnya menjadi rem agar kita tidak terjebak dalam perilaku yang merendahkan derajat kita sebagai manusia yang berakal budi.

Posting Komentar