LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Kisah Inspiratif Penebang Kayu: Sudahkah kamu mengasah kapakmu?

Kisah Inspiratif Penebang Kayu, Sudahkah kamu mengasah kapakmu?

Di sebuah wilayah pegunungan dengan hutan yang lebat, hiduplah seorang penebang kayu senior. Ia dikenal bukan hanya karena kekuatan badannya, tetapi juga karena produktivitas dan efektivitasnya dalam menyelesaikan tugas. 

Suatu hari, datanglah seorang pemuda berbadan tegap dengan otot besar melamar pekerjaan. Melihat fisik pemuda itu yang sangat menjanjikan, sang senior langsung menerimanya. Ia memberikan lokasi penebangan dengan pohon-pohon terbaik agar pemuda itu bisa bekerja dengan maksimal.

Pada hari pertama, pemuda itu menerima kapak baru yang matanya sangat tajam. Semangatnya membara. Ia ingin membuktikan bahwa ia adalah pekerja yang pantas dibayar mahal. Dengan percaya diri, ia mulai mengayunkan kapaknya.

Minggu pertama berjalan sangat mulus. Setiap ayunan kapaknya efektif membelah kayu. Ia berhasil menumbangkan delapan belas pohon besar dalam enam hari kerja. Ini adalah jumlah yang luar biasa bagi seorang pemula.

Sang senior sangat terkesan dan memujinya, "Luar biasa, Nak! Pertahankan tenaga ini, kau akan menjadi penebang hebat." Pujian itu membuat si pemuda makin berambisi.

Ia bertekad untuk mengalahkan rekornya sendiri di minggu kedua. Strateginya adalah bekerja lebih cepat. Ia memangkas waktu istirahat siangnya menjadi sangat singkat, hanya sekadar untuk minum dan menelan makanan, lalu langsung kembali memukul pohon.

Ia mengayunkan kapak lebih sering dan lebih cepat dari minggu sebelumnya. Keringatnya bercucuran deras karena ia nyaris tidak memberi jeda bagi ototnya untuk bernapas. Namun anehnya, hasilnya justru menurun.

Di akhir minggu kedua, jumlah pohon yang ia tebang turun menjadi lima belas batang. Pemuda itu bingung. "Aku sudah memukul lebih sering, kenapa hasilnya lebih sedikit?" pikirnya.

Ia menyimpulkan bahwa pukulannya mungkin kurang kuat. Memasuki minggu ketiga, ia mengubah cara kerjanya. Ia tidak lagi mengejar kecepatan, melainkan kekuatan penuh. Ia mengerahkan seluruh tenaga ototnya dalam setiap hantaman.

Ia memukul batang pohon dengan tenaga yang meledak-ledak. Namun, suara kapaknya tak lagi terdengar renyah membelah kayu. Bunyinya tumpul dan berat, seolah ia sedang memukuli tembok karet.

Hasil minggu ketiga makin merosot. Hanya sepuluh pohon yang tumbang. Rasa frustrasi mulai merayapi pikirannya, namun egonya menolak untuk menyerah. Ia merasa tubuhnya yang bermasalah.

Minggu keempat menjadi puncak kekecewaannya. Kapaknya sering memantul saat mengenai kayu keras. Setiap pohon butuh ribuan pukulan untuk tumbang. Tenaganya terkuras habis hanya untuk satu pohon.

Akhirnya, minggu itu ia hanya membawa pulang lima batang pohon. Tubuhnya pegal luar biasa, telapak tangannya lecet parah, dan ia merasa tenaganya sudah lenyap tak bersisa.

Dengan langkah gontai, ia mendatangi pondok seniornya. Wajahnya penuh rasa malu. "Pak, maafkan saya. Saya rasa fisik saya tidak sekuat yang Bapak kira."

"Saya sudah memukul sekuat tenaga, saya kurangi istirahat, saya fokus penuh. Tapi hasilnya malah hancur. Mungkin saya memang tidak berbakat."

Penebang senior itu menatapnya dengan tenang, lalu tersenyum tipis. Ia mengajukan satu pertanyaan sederhana. "Nak, sudahkah kamu mengasah kapakmu? Kapan kamu terakhir melakukannya"

Pemuda itu terdiam. Ia terpaku di tempatnya. Pertanyaan itu seketika menyadarkannya akan satu hal fatal yang ia lupakan karena terlalu sibuk memukul.

"Mengasah kapak?" gumamnya pelan. "Saya tidak sempat, Pak. Saya terlalu sibuk mengejar target pohon. Saya pikir berhenti bekerja untuk mengasah kapak hanya akan mengurangi waktu saya dalam bekerja."

Sang senior menggeleng. "Di situlah letak kesalahanmu. Kau membuang seluruh tenagamu pada alat yang tumpul. Tenaga sebesar apa pun akan sia-sia jika mata kapaknya tidak tajam."

"Kau bekerja keras, tapi kau lupa merawat alat utamamu. Ingatlah, kadang berhenti sejenak untuk mengasah kapak justru membawa keberhasilan yang lebih besar.""

Saat itu juga, pemuda tersebut tersadar dari kekeliruannya. Ia mengerti bahwa ketekunan bukan hanya soal seberapa keras ia memukul tanpa henti, tetapi juga tentang kesediaan untuk berhenti sejenak demi mengasah kapak agar setiap tetes keringat yang dikeluarkannya tidak terbuang percuma.

Posting Komentar