LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Cinta Yang Sempurna - Cerpen Kehidupan

Cinta Yang Sempurna - Cerpen Kehidupan

Sepuluh tahun adalah waktu yang lama. Cukup lama untuk mengubah seorang anak lelaki canggung berkacamata tebal menjadi pria tegap yang fotonya terpampang di sampul majalah bisnis. Cukup lama pula untuk mengubah seorang gadis primadona sekolah menjadi wanita biasa yang terhimpit rutinitas.

Bagi Risa, sepuluh tahun terasa seperti hukuman penjara tanpa jeruji. Di usianya yang ke-25, Risa bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan furnitur kecil. Hidupnya biasa saja, nyaris monoton. Namun, setiap kali ia melihat ke cermin, bayangan masa lalunya—Risa yang berusia 15 tahun, cantik, populer, dan kejam—selalu kembali menghantuinya. Dan hantu itu selalu berwujud Febri.

Hari itu, di kantin sekolah yang riuh, Febri yang kurus dan pemalu berdiri di depannya. Febri, yang saat itu duduk di kelas 1 SMA, dengan seragam yang kebesaran dan keringat membasahi pelipis, menyodorkan setangkai mawar merah. Mawar itu sedikit terkulai, mungkin karena terlalu lama digenggam oleh tangannya yang gemetar gugup.

"Risa... aku... aku suka kamu," ucap Febri, suaranya nyaris tak terdengar.

Keheningan sesaat di meja populer itu pecah oleh tawa Risa. Tawa yang dingin dan merendahkan, yang langsung disambut oleh siulan dan ejekan teman-temannya. "Febri, Febri," kata Risa, nadanya dibuat-buat manis sambil menatap mawar itu dengan tatapan jijik seolah melihat sampah. "Kamu nggak salah? Kamu lihat diri kamu di cermin, nggak?"

Dia menepis tangan Febri dengan kasar. Mawar itu terlempar, jatuh ke lantai kantin yang kotor. "Mana mungkin aku suka sama cowok kayak kamu?" lanjut Risa, nadanya menghina. "Iya, mending kamu ngaca!" sahut temannya yang lain.

Lalu, tragedi itu terjadi. Salah satu gadis dari geng Risa mengambil gelas es teh manisnya yang masih setengah penuh. "Nih, biar kamu adem," katanya dengan senyum sinis. Dia menyiramkan air teh yang lengket itu tepat ke seragam Febri. Kantin meledak dalam tawa. Seragam putih Febri basah kuyup, berwarna cokelat di bagian dada, dan mawar cintanya terinjak di lantai. Risa, sang primadona, tertawa paling keras.

Febri membeku. Wajahnya pucat pasi, lalu berubah merah padam menahan malu dan amarah yang tak tersalurkan. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya berbalik, berjalan menembus kerumunan yang menertawakannya dengan seragam yang basah dan lengket. Keesokan harinya, dia tidak pernah kembali ke sekolah. Febri pindah, menghilang, seolah ditelan bumi.

Penyesalan Risa tidak datang seketika. Awalnya, itu hanya rasa tidak nyaman. Namun, seiring bertambahnya usia, rasa tidak nyaman itu tumbuh menjadi rasa bersalah yang akut. Keisengan masa remajanya telah menghancurkan seseorang. Dia telah mempermalukan Febri hingga anak itu kehilangan masa depannya—atau setidaknya, masa depan di kota itu.

Kini, sepuluh tahun kemudian, nama Febri kembali terdengar. Bukan lagi sebagai bahan ejekan, tapi sebagai topik pembicaraan penuh kekaguman. Febrianto Wiji, 26 tahun, sang miliarder muda di bidang teknologi, telah kembali ke kota kelahirannya. Jantung Risa serasa berhenti berdetak saat melihat berita itu di televisi lokal. Pria di layar, yang turun dari sedan mewah hitam mengilap, adalah Febri. Tapi itu bukan Febri yang ia kenal. Ini adalah versi yang telah ditempa oleh api kesuksesan dan, Risa yakin, oleh api dendam.

Ketakutan Risa beralasan. Minggu-minggu berikutnya terasa seperti neraka. Ayahnya, Pak Sunardi, pemilik sebuah toko roti keluarga, tiba-tiba menghadapi kebangkrutan. Utang menumpuk, penjualan anjlok. Pak Sunardi tampak menua sepuluh tahun hanya dalam semalam. Di tengah keputusasaan itulah, Febri datang.

Dia datang ke rumah mereka pada suatu sore. Bukan sebagai Febri yang dulu, tapi sebagai Tuan Febrianto. Dia sopan, tenang, namun tatapan matanya tajam saat bertemu pandang dengan Risa. "Saya dengar usaha Pak Sunardi sedang kesulitan," kata Febri, suaranya berat dan berwibawa.

"Benar, Nak Febri. Saya... saya sudah habis akal," jawab Pak Sunardi dengan suara parau, bahunya terkulai lemas mengakui kekalahan.

Febri mengangguk pelan. "Saya bisa bantu. Saya akan berikan pinjaman baru, lunasi semua utang Bapak ke bank. Anggap saja ini bantuan untuk teman lama, Pak." Mata Pak Sunardi berbinar, nyaris tak percaya. "Sungguh? Tanpa... tanpa syarat yang memberatkan?"

"Syaratnya ringan saja, Pak. Toko Bapak aman," kata Febri menenangkan. Pak Sunardi mengatupkan kedua tangannya penuh syukur. "Nak Febri, saya berutang budi seumur hidup."

Febri tersenyum tipis, senyum yang sulit diartikan. "Sebenarnya, ada satu hal lagi yang ingin saya bicarakan. Ini di luar urusan bisnis." Hening sejenak. Pandangan Febri beralih ke Risa, yang berdiri kaku di sudut ruangan. "Saya datang ke sini," lanjut Febri, suaranya melembut namun tetap tegas, "selain untuk membantu, saya juga ingin melamar putri Bapak, Risa."

Dunia Risa runtuh. Ini dia. Inilah pembalasan dendam itu. Waktunya terlalu sempurna. Febri baru saja menyelamatkan ayahnya; bagaimana mungkin ayahnya menolak? Pak Sunardi terdiam. Wajahnya pucat, matanya beralih cepat antara Risa dan Febri, menyadari posisi tawarnya yang lemah. Keraguan dan rasa bersalah tampak di wajah tua itu, namun desakan ekonomi mencekiknya.

"Saya... saya..." Pak Sunardi tergagap, menatap Risa dengan pandangan meminta maaf, sebelum akhirnya mengangguk cepat, seolah takut tawaran itu dicabut. "Saya setuju. Jika Risa bersedia... saya merestuinya."

Risa tidak bisa berkata-kata. Dia merasa seperti barang jaminan. Takut, marah, dan yang terburuk, dia merasa pantas mendapatkannya. Pernikahan itu berlangsung megah namun terasa dingin. Risa seperti boneka pajangan, sementara Febri tampak tenang mengucapkan janji suci.

Malam harinya, di rumah baru mereka, ketakutan Risa memuncak. Begitu masuk ke kamar utama, Risa langsung berlari ke sudut terjauh, memeluk lututnya. Febri melepas jasnya, melonggarkan dasi. Setiap gerakan kecil darinya membuat Risa tersentak.

"Jangan mendekat!" pekik Risa, suaranya bergetar.

Febri berhenti. Dia menatap Risa dengan ekspresi bingung. "Kenapa kamu lakukan ini, Feb?" isak Risa. "Untuk membalas dendam? Untuk membuatku menderita setiap hari? Kamu berhasil! Aku takut! Apa sekarang kamu puas?"

Febri terdiam lama. Dia duduk di tepi tempat tidur, menjaga jarak aman, berusaha menurunkan ketegangan. "Balas dendam?" ulang Febri pelan, suaranya terdengar lelah. "Risa, kalau aku mau balas dendam, aku bisa membuat toko roti ayahmu bangkrut dalam satu hari. Aku tidak perlu repot-repot menikahimu untuk itu."

Risa mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, memberanikan diri menatap pria itu. "Lalu... lalu kenapa?"

Febri menatap lantai sejenak, seolah mengumpulkan keberanian yang sempat hilang, sebelum akhirnya menatap Risa lekat-lekat. "Karena aku masih mencintaimu." Risa tertegun, napasnya tercekat. "Hari itu di kantin," lanjut Febri, "adalah hari terburuk dalam hidupku. Aku hancur. Aku berjanji pada diriku sendiri aku akan jadi sukses, menjadi seseorang yang tidak akan pernah bisa ditertawakan lagi."

Dia berdiri, berjalan menuju jendela besar yang menghadap lampu kota, memunggungi Risa. Bahunya terlihat turun, beban arogansi yang ia pasang seharian luruh seketika. "Aku bekerja keras. Tapi motifku berubah. Awalnya dendam, tapi semakin dewasa, aku sadar bukan itu yang kuinginkan. Aku memantau hidupmu dari jauh, Risa. Aku melihatmu bekerja keras, melihatmu berubah, bukan lagi gadis sombong yang dulu. Aku hanya ingin... pantas untukmu."

Febri berbalik, wajahnya kini terlihat lembut di bawah bias cahaya bulan. "Aku sudah memaafkanmu bertahun-tahun lalu. Kita masih remaja waktu itu. Tapi aku tidak pernah bisa melupakanmu. Saat aku tahu ayahmu dalam masalah, aku melihatnya sebagai kesempatan. Cara yang bodoh, aku tahu," dia tersenyum getir, "cara seorang pria yang masih menyimpan rasa takut ditolak seperti anak SMA."

"Aku tidak membelimu, Risa," katanya lembut. "Aku melamarmu. Aku datang untuk mewujudkan impianku sepuluh tahun lalu."

Risa menatapnya, benar-benar menatapnya untuk pertama kali. Di balik setelan mahal itu, dia melihat secercah Febri yang dulu—tatapan mata yang tulus dan gugup. Ketakutan yang selama ini mencengkeram Risa perlahan menguap. Itu semua hanya fatamorgana, ilusi yang diciptakan oleh rasa bersalahnya sendiri. Pria di depannya bukanlah monster, melainkan anak laki-laki yang telah memenuhi janjinya pada diri sendiri, dan kini kembali untuk memenuhi janji hatinya.

Malam itu, Risa tidak lagi mendekam di sudut. Dia mengambil langkah pertamanya, keluar dari bayang-bayang masa lalu. Perlahan, ia mendekati Febri yang berdiri mematung.

"Maafkan aku, Febri," bisik Risa, air matanya kembali menetes, tapi kali ini bukan karena takut. "Aku minta maaf..."

Febri menggeleng pelan, lalu dengan ragu mengangkat tangannya untuk menghapus air mata di pipi Risa. Sentuhannya hangat dan hati-hati, seolah Risa adalah kaca yang mudah pecah. "Jangan menangis. Mulai sekarang, aku cuma ingin melihat kamu tersenyum."

Risa merasakan kehangatan yang menjalar di dadanya, menggantikan rasa dingin yang selama ini ia rasakan. Ia meraih tangan Febri yang ada di pipinya, menggenggamnya erat. "Kalau begitu, ajari aku untuk mencintaimu... seperti kamu mencintaiku."

Senyum Febri merekah, tulus dan penuh kelegaan. Ia menarik Risa ke dalam pelukan hangat, pelukan yang telah ia impikan selama satu dekade. Di kamar itu, dendam masa lalu resmi berakhir, digantikan oleh janji masa depan yang manis.

* * *

Posting Komentar