Kakek Abdullah menghela napas panjang, berat oleh beban kekecewaan. Gurat penyesalan terukir jelas di wajah sepuhnya. Di hadapannya, Alana, cucu yang selama ini dimanjakannya, berdiri dengan tangan terlipat di dada dan wajah masam.
"Alana tidak mau, Kek! Pokoknya tidak mau!" serunya, suaranya melengking memenuhi ruang tamu yang megah. "Dijodohkan dengan Alif? Yang benar saja! Dia itu... dia itu..."
"Dia pria baik, Lan," Kakek Abdullah mencoba bersabar, meski suaranya mulai parau menahan emosi. "Kakeknya, Joko, adalah sahabat seperjuanganku."
"Sahabat Kakek, bukan sahabat Alana!" Alana memotong cepat, tak peduli pada sopan santun. "Wajahnya biasa saja. Bicaranya gugup, bahkan sedikit gagap. Dan keluarganya? Keluarga biasa saja, Kek! Alana pantas mendapatkan yang lebih dari sekadar pria medioker!"
Di sudut ruangan yang lebih redup, Rania, sepupu Alana, hanya terdiam menyimak. Ia memahami betapa sakralnya janji ini bagi kakeknya. Ini bukan sekadar perjodohan bisnis, melainkan janji persahabatan dua lelaki tua yang ingin mengikat tali persaudaraan keluarga mereka selamanya. Penolakan kasar Alana bukan hanya soal pernikahan, tapi sebuah pukulan telak bagi harga diri Kakek Abdullah.
Melihat bahu kakeknya yang kini merosot lesu seolah kehilangan tulang penyangga, hati Rania tergerak. Rasa hormat dan kasih sayangnya mengalahkan egonya sendiri.
"Kek," panggil Rania pelan namun nadanya tegas.
Semua mata seketika tertuju padanya. Rania, pengusaha muda yang baru merintis karier, dikenal cerdas, dingin, dan penuh perhitungan. Sangat kontras dengan Alana yang meledak-ledak.
"Jika Alana tidak bersedia," Rania menarik napas dalam, memantapkan hatinya untuk sebuah perjudian nasib. "Biarkan Rania yang menggantikannya. Rania bersedia menikah dengan Alif."
Kakek Abdullah mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca menatap cucu keduanya itu seolah tak percaya.
Alana membelalak, separuh kaget, separuh mengejek. "Kamu serius, Ran? Dengan pria gagap itu? Kamu mau mengorbankan masa depanmu?"
Rania mengangguk mantap, menatap lurus kakeknya, sepenuhnya mengabaikan cemoohan sepupunya. "Demi Kakek. Dan karena Rania percaya pilihan Kakek tidak mungkin salah."
Pernikahan itu berlangsung sederhana namun khidmat. Alif memang persis seperti deskripsi Alana secara fisik; tinggi, kurus, dan tidak menonjol. Kegugupannya terlihat jelas di tengah keramaian tamu. Saat ijab kabul, suaranya bergetar hebat hingga dia harus mengulanginya tiga kali sebelum para saksi berteriak "Sah!".
"S-saya t-terima n-nikahnya..."
* * *
Kehidupan pernikahan Rania dan Alif segera menjadi buah bibir, terutama ketika Rania ditunjuk oleh Kakek Abdullah untuk mengambil alih anak perusahaan yang berada di ambang kebangkrutan. Itu adalah pertaruhan besar bagi reputasi Rania.
"Lalu, apa posisi suaminya di perusahaan?" tanya seorang kolega dengan nada menyelidik di rapat dewan direksi perdana.
"Alif akan menjadi sekretaris pribadi saya," jawab Rania tenang, tanpa keraguan.
Jawaban itu memicu gelombang bisikan sinis. "Sekretaris?" "Hidupnya enak sekali, numpang istri." "Modal tampang tidak punya, modal gugup iya."
Alif mendengar itu semua. Di ruang rapat, dia selalu memilih kursi di sudut paling belakang, mencatat notulensi dengan tangan yang sedikit gemetar, dan sering menunduk dalam-dalam untuk menghindari tatapan mata orang lain. Rania tidak pernah membelanya secara verbal di depan umum; dia tampak dingin, profesional, dan hanya fokus bekerja.
Namun, apa yang terjadi di balik pintu tertutup ruang kerja mereka adalah cerita yang sama sekali berbeda.
Malam itu, sebulan setelah Rania memimpin, ia pulang dengan wajah kuyu. Perusahaan benar-benar berantakan. Arus kas negatif, utang menumpuk, dan moral karyawan hancur. Dia melempar tasnya ke sofa dan memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri.
"M-Minum dulu, Ran," Alif muncul dari dapur, menyodorkan segelas teh chamomile hangat. Kegugupannya selalu berkurang banyak saat mereka hanya berdua di rumah, di zona nyaman mereka.
"Kita akan bangkrut, Mas," desah Rania putus asa, menerima teh itu. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin Kakek salah menunjukku. Mungkin benar kata orang, aku hanya ambisius tanpa isi."
Alif duduk di depannya, lalu perlahan membuka laptopnya. Wajahnya yang biasanya terlihat ragu dan cemas, kini berubah drastis. Tatapannya tajam, fokus, dan penuh ketenangan.
"T-tidak," katanya pelan namun ada keyakinan baja dalam suaranya. "K-kita tidak akan bangkrut. Aku sudah... sudah m-mempelajari laporannya semalaman. Ada pola yang terlewatkan."
Selama tiga jam berikutnya, Alif membedah keuangan perusahaan layaknya seorang maestro. Pria yang di kantor kesulitan memesan makan siang tanpa gagap itu, kini berbicara tentang restrukturisasi utang, efisiensi operasional, dan celah pasar. Gagapnya sesekali muncul, tapi tertutup oleh kecemerlangan analisisnya.
"Kita... k-kita harus memotong biaya produksi di sektor X, tapi... tapi mengalihkan dananya ke inovasi di lini Y. Lihat... p-polanya di sini. Kompetitor tidak melihat ini," jarinya menunjuk grafik rumit di layar dengan lincah.
Rania menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Takjub. Ternyata Alif bukan sekadar pria pemalu; dia adalah seorang pengamat yang jeli. Dia melihat detail yang luput dari mata orang lain.
Rania, di sisi lain, adalah seorang eksekutor ulung. Dia pemberani, pandai bernegosiasi, dan tidak takut mengambil risiko—hal-hal yang tidak dimiliki Alif.
"Itu... brilian," bisik Rania, matanya berbinar menatap suaminya. "Mas, kenapa kamu tidak menjabat sebagai Direktur Strategi saja? Kamu tidak pantas jadi sekretaris. Otakmu terlalu mahal untuk sekadar mencatat jadwal."
Alif menggeleng cepat, wajahnya kembali cemas. "J-jangan. Aku... aku tidak bisa bicara di depan orang banyak, Ran. Aku akan pingsan. Biar... biar kamu saja yang di depan. Aku b-bantu dari bayang-bayang. Itu tempatku."
Sejak malam itu, dinamika mereka berubah. Rasa hormat tumbuh menjadi kekaguman, dan kekaguman perlahan mekar menjadi sesuatu yang lebih dalam.
* * *
Tiga tahun berlalu.
Perusahaan yang nyaris mati itu kini bukan hanya pulih, tapi meroket menjadi pemimpin pasar. Rania dielu-elukan sebagai "Ratu Midas" di dunia bisnis. Dan di sisinya, selalu ada Alif, sang sekretaris setia yang membawakan tasnya, yang masih sering menunduk gugup saat disapa orang baru.
Cemoohan orang-orang berubah bentuk. Jika dulu mereka menganggap Alif beruntung, kini mereka menganggap Alif adalah beban bagi Rania yang bersinar.
"Rania, kamu ada di puncak dunia," ujar Bimo, seorang investor pria yang tampan di sebuah pesta gala perusahaan. Pria itu terang-terangan menggoda Rania, mengabaikan keberadaan Alif yang berdiri tak jauh dari mereka. "Kamu bisa mendapatkan pria mana pun. Kenapa kamu bertahan dengan... dia? Ceraikan saja. Kamu pantas mendapatkan yang sepadan, yang bisa menyeimbangimu."
Di seberang ruangan, Alif sedang berdiri canggung sendirian di dekat meja minuman, pura-pura sibuk dengan ponselnya karena diabaikan oleh lingkaran pebisnis di sekitarnya.
Rania menatap Bimo. Senyum sopannya lenyap, digantikan tatapan dingin yang mematikan.
"Pak Bimo, Anda mengagumi strategi ekspansi kita ke pasar Eropa yang agresif itu, bukan? Itu ide Alif."
Pria itu terkejut, gelas di tangannya terhenti di udara.
"Anda memuji bagaimana kita membalikkan arus kas dalam enam bulan pertama? Itu analisis matematika Alif," lanjut Rania, suaranya meninggi sedikit, cukup untuk didengar orang-orang di sekitar mereka. "Dan pidato visi misi saya yang Anda bilang sangat visioner itu? Itu semua tulisan tangan suami saya."
Rania tidak menunggu jawaban Bimo. Dia berjalan anggun melintasi ruangan, membelah kerumunan, dan menghampiri suaminya yang tampak kikuk. Tanpa ragu, Rania menggandeng lengan Alif erat-erat, menyandarkan kepalanya sejenak di bahu pria itu di depan ratusan pasang mata.
"Mas, ayo kita pulang," bisiknya lembut namun terdengar bangga. "Aku lelah berpura-pura ramah pada orang-orang yang tidak menghargaimu."
Rania menarik Alif menjauh dari keramaian pesta, meninggalkan para tamu yang tertegun menatap punggung mereka.
* * *
Mereka tiba di rumah. Suasana hening menyambut mereka, kontras dengan keriuhan pesta yang menyesakkan tadi. Begitu pintu tertutup, Rania tidak langsung menyalakan lampu ruang tamu, membiarkan cahaya bulan dari jendela menerangi ruangan remang-remang itu.
Alif berdiri kaku di tengah ruangan, masih mengenakan jasnya. Dia menunduk, memainkan ujung lengan kemejanya dengan gelisah.
"A-aku... aku m-membuatmu malu lagi ya?" tanya Alif lirih, suaranya pecah. "Maaf, Ran. Aku berusaha berbaur, tapi... lidahku kaku."
Rania tidak menjawab dengan kata-kata. Dia melangkah mendekat, lalu dengan lembut melepaskan jas Alif dan menyampirkannya ke kursi. Dia menangkup wajah suaminya dengan kedua tangannya, memaksa Alif untuk menatap matanya.
"Mas Alif, lihat aku," pinta Rania lembut.
Alif mendongak ragu, takut menemukan kemarahan di mata istrinya. Namun yang ia temukan hanyalah telaga ketenangan dan kasih sayang.
"Mereka semua bilang kamu menumpang hidup padaku," kata Rania, ibu jarinya mengusap pipi Alif, menghapus jejak kegelisahan di sana. "Mereka bodoh, Mas. Mereka tidak tahu bahwa akulah yang bersandar padamu. Mereka melihatku sebagai eksekutor yang hebat, tapi mereka tidak tahu bahwa setiap langkahku, setiap keberanianku, berasal dari rencana jeniusmu."
Rania mendekatkan wajahnya, menghapus jarak di antara mereka hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.
"Biarkan mereka melihat pria gugup. Biarkan mereka melihat sekretaris yang membawakan tasku. Aku tidak peduli," bisik Rania penuh penekanan. "Karena saat kita pulang ke rumah ini, saat dunia tertutup di luar sana, aku melihat pria paling cerdas, paling tulus, dan paling kuat yang pernah aku kenal."
Mata Alif berkaca-kaca. Rasa tidak percaya diri yang menghantuinya seumur hidup perlahan luruh, dilelehkan oleh hangatnya pengakuan istrinya. "Rania..."
"Aku tidak lagi menjalani pernikahan ini demi janji Kakek, Mas," potong Rania, suaranya melembut menjadi bisikan romantis. "Sekarang... Aku mencintaimu. Aku mencintai caramu berpikir, caramu melindungiku dari belakang layar, bahkan kegugupanmu yang jujur itu."
Senyum perlahan terbit di wajah Alif, sebuah senyum tulus yang jarang terlihat oleh dunia. Dia menarik pinggang Rania, mendekap istrinya ke dalam pelukan erat yang hangat.
"A-aku... aku juga sangat... sangat mencintaimu, Rania. CEO-ku," bisik Alif di telinga istrinya.
"Dan kamu, pengamat jeliku," balas Rania, membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya.
Rania memejamkan mata, mendengarkan detak jantung Alif yang kini terdengar tenang dan kuat, irama yang selalu menenangkannya. Di kota itu, Rania dikenal sebagai wanita baja yang membangun kerajaan bisnis. Tapi hanya Rania yang tahu, bahwa kerajaannya berdiri kokoh di atas fondasi yang dirancang oleh seorang pria sederhana yang sangat dicintainya.
Mereka adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan; pemikir dan penggerak, rencana dan eksekusi. Di dalam rumah itu, di bawah temaram lampu bulan, mereka bukan lagi atasan dan sekretaris, melainkan sepasang jiwa yang saling melengkapi dengan sempurna.
Disclaimer: Hanya cerita fiksi untuk bacaan di kala senggang.

Posting Komentar