LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Dongeng Aesop: Kisah Janji yang Mustahil Tertunaikan

Ilustrasi Dongeng Aesop: Kisah Janji yang Mustahil Tertunaikan

Kisah Janji yang Mustahil Tertunaikan merupakan salah satu dongeng menarik buah karya Aesop. Cerita klasik ini mengandung pesan moral mendalam tentang perilaku manusia saat terdesak.

Secara khusus, kisah ini menyoroti orang yang suka mengumbar janji manis. Padahal, mereka sadar betul bahwa janji tersebut mustahil untuk dilaksanakan.

Narasi Kisah Janji yang Mustahil Tertunaikan

Di sebuah gubuk tua di pinggir desa, hiduplah sepasang suami istri dalam kemiskinan yang memprihatinkan. Malang tak dapat ditolak, sang suami tiba-tiba jatuh sakit parah hingga tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang.

Hari demi hari, ia hanya bisa terbaring lemah di atas tikar usang. Ia terus menahan rasa nyeri yang menyiksa sekujur badannya tanpa henti.

Kesedihan semakin mendalam karena kantong mereka kosong, tak ada uang sepeser pun untuk memanggil tabib. Ia sadar betul bahwa tanpa bantuan medis, harapan hidupnya semakin menipis seiring waktu.

Rasa putus asa mulai menyelimuti hatinya yang gundah. Ia merasa tidak ada lagi manusia yang bisa menolongnya dari penderitaan ini.

Dalam keadaan kritis dan terdesak, ia mencoba mencari pertolongan ke langit sebagai usaha terakhir. Ia berpikir satu-satunya cara selamat adalah dengan bernegosiasi langsung dengan Sang Pencipta.

Dengan suara parau dan napas tersengal, ia memanjatkan doa. Suaranya terdengar sangat sungguh-sungguh memecah keheningan gubuk.

"Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa, hamba memohon belas kasihan-Mu untuk mengangkat penyakit ini," ucapnya dengan nada memelas. "Jika Engkau memberiku kesembuhan, aku berjanji akan mempersembahkan seratus ekor lembu jantan sebagai tanda syukurku."

Istrinya yang sedang menumbuk obat di sudut ruangan sontak terlonjak kaget mendengar sumpah suaminya. Matanya terbelalak lebar, seolah tak percaya telinganya sendiri mendengar angka seratus ekor lembu.

Ia tahu betul kondisi ekonomi mereka saat ini. Untuk makan besok saja mereka bingung, apalagi membeli ternak sebanyak itu.

Dengan langkah tergesa namun penuh kekhawatiran, sang istri mendekat dan memegang tangan suaminya. Ia merasa perlu mengingatkan suaminya agar tidak berbicara melantur di luar batas kemampuan.

"Suamiku, sadarkah engkau dengan apa yang baru saja kau ucapkan di hadapan Tuhan?" bisiknya pelan. Sang istri melanjutkan pertanyaannya dengan nada logis yang menyayat hati.

"Kita ini orang melarat, bahkan seekor kambing kurus pun kita tidak punya di kandang belakang. Dari mana kita akan mendapatkan harta untuk membayar janji besarmu itu?" tanya sang istri.

Mendengar pertanyaan istrinya, laki-laki sakit itu perlahan menoleh. Tatapannya berubah menjadi sinis, menyiratkan kepasrahan bercampur kelicikan akal bulus.

Ia tersenyum tipis, seolah sedang menertawakan nasib buruknya sendiri. "Tenanglah, Istriku, jangan kau ambil pusing ucapan orang yang sedang sekarat," jawabnya enteng.

"Aku berani berjanji seratus ekor lembu justru karena aku sangat yakin aku tidak akan pernah sembuh," lanjutnya tanpa rasa bersalah. Ia kemudian menutup matanya kembali sambil bergumam tajam.

"Karena aku yakin tidak akan pernah sembuh, maka Tuhan pun tidak akan pernah sempat menagih janji itu dariku."

Pelajaran Moral dari Kisah Janji yang Mustahil Tertunaikan

1. Janji Manis di Kala Terdesak

Pelajaran pertama yang paling menonjol adalah kecenderungan manusia mengobral janji saat terjepit. Laki-laki dalam cerita ini mewakili sifat orang yang kehilangan akal sehat karena rasa takut.

Kita sering membuat komitmen besar tanpa berpikir panjang. Tujuannya hanyalah demi mendapatkan rasa tenang sesaat di tengah kesulitan.

Sering kali, janji semacam ini hanyalah bentuk manipulasi emosional. Seseorang mungkin berjanji akan berubah atau membayar utang hanya untuk lolos dari lubang jarum.

Sayangnya, janji yang lahir dari kepanikan biasanya tidak memiliki niat tulus. Kita harus waspada dan tidak mudah percaya pada ucapan yang keluar saat seseorang sedang tertekan.

2. Integritas dan Ketulusan Hati

Nilai moral kedua berkaitan erat dengan integritas pribadi. Sikap laki-laki tersebut yang "bermain-main" dengan sumpahnya menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap kebenaran.

Ia mencoba menipu keadaan dengan logika yang sinis. Ia berani berjanji mustahil karena yakin tidak perlu memenuhinya.

Integritas sejati justru diuji saat kita berada di titik terendah. Orang berkarakter kuat akan tetap mengukur ucapan sesuai kemampuannya, meski sedang sulit.

Kejujuran mengakui ketidakmampuan jauh lebih mulia. Jangan sampai kita memberikan harapan palsu yang dibalut dengan kebohongan.

3. Realitas Hidup versus Harapan Kosong

Cerita ini mengajarkan kita untuk selalu berpijak pada realitas. Sang istri mewakili suara logika yang mengingatkan agar kita tidak bermimpi terlalu tinggi tanpa dasar.

Sering kali kekecewaan muncul bukan karena takdir, melainkan ekspektasi yang tidak realistis. Kita menuntut hasil besar tanpa sumber daya yang memadai.

Dengan menyadari batasan diri, kita bisa menyusun doa dan usaha yang lebih masuk akal. Hidup dengan menerima kenyataan akan menghindarkan kita dari sikap putus asa.

Ketenangan hati hanya bisa diraih jika kita jujur pada diri sendiri. Berhentilah menipu diri dengan angan-angan kosong yang tak mungkin tercapai.


Daftar lengkap dongeng dan fabel Aesop, kunjungi: Kumpulan Dongeng dan Fabel Aesop

Posting Komentar