Di sebuah desa yang damai di kaki bukit yang hijau, hiduplah seorang anak gembala. Setiap hari, tugasnya adalah membawa sekawanan domba milik warga desa untuk merumput di padang yang subur. Pekerjaan ini, meskipun penting, terkadang terasa sangat sunyi dan membosankan bagi seorang anak yang aktif.
Suatu siang yang terik, rasa bosan melanda anak gembala itu dengan sangat hebat. Ia duduk di bawah pohon sambil memandangi domba-domba yang hanya makan dan tidur. Tiba-tiba, sebuah ide jahil melintas di kepalanya untuk menghibur diri sendiri dan memecah keheningan.
Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah desa sambil berteriak sekuat tenaga. "Tolong! Tolong! Ada Serigala! Serigala menyerang domba!" teriaknya dengan wajah yang dibuat panik. Suaranya menggema hingga ke seluruh penjuru desa.
Mendengar teriakan itu, para penduduk desa segera meninggalkan pekerjaan mereka. Mereka berlari mendaki bukit dengan membawa tongkat dan alat seadanya, berniat mengusir serigala buas itu. Wajah mereka penuh kekhawatiran akan keselamatan si anak dan ternak mereka.
Namun, sesampainya di padang rumput, mereka tidak menemukan seekor serigala pun. Yang mereka temukan hanyalah si anak gembala yang tertawa terbahak-bahak karena berhasil menipu orang-orang dewasa. Warga desa pun kembali dengan perasaan kesal, namun mereka mencoba memaafkannya.
Beberapa hari kemudian, anak gembala itu kembali merasa bosan dan ingin melihat keributan lagi. Ia pun mengulangi perbuatannya, berteriak histeris tentang adanya serangan serigala. Sekali lagi, warga desa datang berlarian dengan napas terengah-engah untuk menolongnya.
Lagi-lagi, mereka hanya mendapati si anak gembala yang tertawa geli melihat kepanikan warga. Kali ini, para penduduk desa benar-benar marah. Mereka memperingatkan anak itu untuk berhenti bermain-main dengan bahaya, lalu pulang dengan hati yang dongkol.
Hingga suatu sore, saat matahari mulai terbenam, suasana bukit menjadi mencekam. Dari balik semak-semak, muncul seekor serigala sungguhan dengan gigi yang tajam dan mata yang menyala. Serigala itu menggeram lapar dan mulai mendekati kawanan domba.
Ketakutan yang luar biasa menyergap si anak gembala. Ia berlari kencang ke tepi bukit dan berteriak sekeras-kerasnya, bahkan sampai menangis. "Serigala! Tolong! Ada serigala sungguhan! Tolong aku!" jeritnya penuh keputusasaan.
Di bawah sana, penduduk desa mendengar teriakan itu. Namun, mereka hanya saling pandang dan menggelengkan kepala. "Ah, dia pasti sedang berbohong lagi," gumam mereka, dan tidak ada satu pun yang beranjak naik untuk menolong.
Tanpa adanya bantuan, serigala itu dengan leluasa memangsa domba-domba yang tak berdaya. Si anak gembala hanya bisa melihat kejadian itu dengan gemetar dan air mata penyesalan. Ia harus kehilangan kepercayaan dan ternak gembalanya karena kebohongannya sendiri.
Pelajaran dari Dongeng Anak Gembala dan Serigala: Harga dari Kebohongan
Kepercayaan Itu Mahal Harganya
Nilai moral pertama yang bisa kita ambil adalah betapa berharganya sebuah kepercayaan. Kepercayaan ibarat selembar kertas putih; sekali diremas atau dikotori, ia tidak akan bisa kembali mulus seperti sedia kala. Dalam cerita ini, warga desa awalnya sangat peduli dan percaya pada si anak gembala, terbukti dari kesigapan mereka datang menolong.
Namun, ketika kepercayaan itu disalahgunakan untuk kesenangan semata, fondasi hubungan antarmanusia menjadi hancur. Membangun kepercayaan membutuhkan waktu yang lama dan pembuktian yang konsisten, tetapi menghancurkannya hanya butuh satu kali kebohongan. Oleh karena itu, kita harus selalu menjaga amanah dan kejujuran agar orang lain tetap menaruh hormat dan percaya kepada kita.
Bahaya dari Kebiasaan Berbohong
Nilai moral kedua berkaitan dengan konsekuensi fatal dari berbohong. Ada sebuah perkataan yang menyatakan bahwa hukuman terbesar bagi seorang pembohong bukanlah karena ia tidak dipercaya, melainkan ia tidak bisa membuat orang lain percaya bahkan saat ia berkata jujur. Inilah nasib malang yang menimpa si anak gembala.
Kebohongan yang dilakukan berulang kali akan menciptakan reputasi buruk yang melekat pada diri seseorang. Ketika situasi benar-benar genting dan membutuhkan pertolongan, reputasi itulah yang akan menjadi penghalang.
Kisah ini mengajarkan kita untuk selalu berkata jujur dalam keadaan apa pun, karena kejujuran adalah penyelamat kita di masa depan, sedangkan kebohongan adalah perangkap yang kita buat sendiri.

Posting Komentar