Matahari siang itu bersinar terik, memayungi desa tempat Nasruddin tinggal dengan hawa panas yang menyengat. Di tengah rasa haus yang mendera, pandangan Nasruddin tertumbuk pada rimbunnya dedaunan di balik pagar tembok tetangganya.
Di sana, bergantungan buah-buah mangga yang ranum, dengan kulit kuning kemerahan yang seolah memanggil-manggil untuk dipetik. Air liur Nasruddin seketika menetes membayangkan manis dan segarnya daging buah tersebut jika menyentuh lidahnya.
Godaan itu begitu kuat hingga melunturkan akal sehatnya. Tanpa berpikir panjang, Nasruddin bergegas masuk ke gudang belakang rumahnya dan menarik keluar sebuah tangga kayu yang cukup berat.
Dengan semangat yang menggebu, ia memanggul tangga itu di pundaknya, berjalan menuju tembok pembatas. Ia menyandarkan tangga tersebut dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh yang mencurigakan.
Satu per satu anak tangga ia naiki hingga sampai di puncak. Sesampainya di atas, ia duduk di bibir tembok untuk menjaga keseimbangan. Dengan susah payah, ia menarik tangga berat itu ke atas lalu menurunkannya ke sisi seberang, tepat di halaman kebun tetangganya.
Nasruddin pun menuruni tangga itu dan menjejakkan kakinya di tanah terlarang tersebut. Matanya berbinar menatap mangga yang kini hanya berjarak beberapa jengkal dari jangkauan tangannya.
Namun, belum sempat tangannya menyentuh buah impian itu, suara berat terdengar dari arah beranda. Sang pemilik kebun berdiri di sana dengan wajah penuh tanda tanya dan rasa curiga.
"Nasruddin, Sedang apa kau di sini?" tanya tetangganya dengan nada tinggi. Ia menatap tangga kayu dan Nasruddin bergantian, mencoba memahami situasi ganjil di hadapannya.
Nasruddin terperanjat, jantungnya berdegup kencang karena tertangkap basah. Namun, otak cerdiknya berputar lebih cepat daripada rasa malunya, mencari alasan yang masuk akal.
Dengan wajah tenang dan senyum yang dipaksakan, ia menjawab, "Ah, tetanggaku yang baik. Kebetulan sekali kau ada di sini. Aku sedang menjual tangga ini."
Tetangganya mengernyitkan dahi, merasa dipermainkan. "Menjual tangga? Di dalam kebunku yang tertutup tembok tinggi ini? Apakah kau pikir ini pasar tempat orang berjual beli?"
Nasruddin merapikan bajunya seolah ia adalah pedagang profesional yang sedang tersinggung. Ia menatap tetangganya dengan tatapan meyakinkan.
"Sahabatku, kau sepertinya salah paham tentang konsep berdagang," jawab Nasruddin enteng. "Yang namanya menjual tangga itu bisa di mana saja, tidak peduli tempatnya, bahkan di kebun orang sekalipun!"
Pelajaran dari Kisah Nasruddin: Menjual Tangga Bisa Di Mana Saja
Kisah jenaka Nasruddin ini sejatinya adalah cermin jernih bagi perilaku manusia yang sering kali enggan mengakui kesalahan secara langsung. Kita sering melihat pantulan diri kita dalam sosok Nasruddin.
Ketika tertangkap basah melakukan kekeliruan atau pelanggaran, insting pertama manusia sering kali adalah membela diri, bukan meminta maaf. Ego manusia terkadang terlalu tinggi untuk sekadar menunduk dan mengakui khilaf.
Alasan yang diciptakan Nasruddin (bahwa ia sedang menjual tangga) memang terdengar cerdas dan menggelitik. Namun, sebagus apa pun Nasruddin menciptakan alasan, tetap saja itu adalah sebuah dalih untuk menutupi niat awalnya yang kurang terpuji, yaitu mengambil hak orang lain.
Sering kali dalam dinamika kehidupan sosial, kita menjadi "penjual tangga" dadakan. Kita merangkai narasi dan alasan-alasan logis hanya untuk membenarkan tindakan kita yang melanggar batasan orang lain, baik itu batasan privasi, hak milik, maupun perasaan. Cerita ini mengajak kita menertawakan betapa absurd-nya logika manusia ketika sedang terdesak demi menyelamatkan muka.
Kejujuran memang kadang terasa pahit dan memalukan di awal. Rasanya berat untuk berkata "Saya salah". Namun, mengakui kesalahan jauh lebih terhormat dan melegakan daripada membangun benteng argumen cerdas yang sebenarnya kosong dan menipu diri sendiri.
Ingatlah, alasan yang paling masuk akal sekalipun tidak akan pernah mengubah fakta bahwa Nasruddin sedang berdiri di kebun yang bukan miliknya.
Catatan:
Kisah ini merupakan penceritaan ulang yang telah mengalami penyesuaian pada alur dan narasi, termasuk penambahan detail cerita serta penambahan nilai moral. Cerita ini diadaptasi dari kisah dalam Der Hodscha Nasreddin I. Band karya Albert Wesselski, yang tersedia sebagai karya domain publik, antara lain melalui Project Gutenberg: https://www.gutenberg.org/ebooks/54690

Posting Komentar