Pada suatu siang, Sang Guru berdiri di depan kelas, menatap para murid yang duduk tenang. Perhatian seluruh kelas tertuju pada meja guru yang dipenuhi benda tak lazim: stoples kaca kosong, batu-batu besar, kerikil, dan pasir. Rasa ingin tahu menyeruak di benak para murid melihat apa yang dibawa Sang Guru.
Menjawab tatapan mereka dengan tindakan nyata, Sang Guru mulai mengambil batu-batu besar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia memasukkan batu itu satu per satu ke dalam stoples dengan perlahan hingga mencapai bibir stoples.
"Apakah stoples ini sudah penuh?" tanyanya kepada para murid yang memperhatikannya dengan lekat. Serempak, mereka menjawab dengan yakin bahwa stoples itu memang sudah terisi penuh.
Sang Guru tersenyum tipis, lalu mengambil kantong kerikil dan menuangkannya ke sela-sela batu besar tadi. Kerikil-kerikil itu mengalir turun, mengisi celah-celah kosong yang tersisa di dalam stoples.
Ia mengguncang stoples itu pelan agar kerikil menempati ruang dengan sempurna, lalu bertanya kembali apakah isinya sudah penuh. Para murid tertawa kecil menyadari kekeliruan mereka, namun kembali sepakat bahwa kali ini stoples itu benar-benar penuh.
Sang Guru menggeleng pelan, kemudian mengambil kotak berisi pasir halus. Pasir itu dituangkan, mengalir deras memenuhi ruang yang tersisa di antara batu serta kerikil.
"Penuh?" tanyanya untuk ketiga kalinya. Para murid mengangguk mantap, yakin bahwa kali ini tidak ada lagi benda lain yang bisa masuk ke dalam sana.
"Sekarang, saya ingin kalian memahami bahwa stoples ini adalah gambaran waktu dan energi dalam hidup kalian," ujarnya serius. Batu-batu besar ini melambangkan prioritas utama dan terbesar yang harus kalian utamakan di atas segalanya.
"Jika kalian kehilangan hal lain namun batu-batu ini tetap ada, hidup kalian masih memiliki fondasi yang kuat," jelasnya. Ini adalah hal-hal yang paling substansial dan tidak boleh digeser oleh kepentingan lain.
"Kerikil adalah hal-hal lain yang juga memiliki arti penting, namun posisinya berada di bawah prioritas utama," lanjutnya menjelaskan. Hal-hal ini adalah pelengkap yang memberi nilai tambah, tetapi bukan fondasi dasar kehidupan kalian.
"Sedangkan pasir mewakili segala hal-hal kecil dan remeh yang sering kali datang silih berganti," katanya mengingatkan. Ini adalah segala kesibukan minor yang kerap menyita waktu tanpa memberikan dampak besar yang berarti.
Sang Guru menatap murid-muridnya lekat-lekat untuk menekankan poin pentingnya. "Pelajaran vitalnya adalah: jika kalian memasukkan pasir terlebih dahulu ke dalam stoples, tidak akan ada ruang tersisa untuk kerikil, apalagi batu-batu besar."
Jika kalian menghabiskan seluruh energi dan waktu untuk hal-hal kecil, kalian akan kehabisan ruang untuk hal-hal yang benar-benar besar dan krusial. Hidup akan terasa penuh sesak, namun kalian kehilangan esensi utamanya.
"Maka, pastikan kalian mengenali dan meletakkan 'batu-batu besar' kalian terlebih dahulu," tutup Sang Guru dengan bijak. Setelah prioritas utama itu kokoh, barulah kerikil dan pasir bisa masuk mengisi sela-selanya tanpa mengacaukan hidup kalian.

Posting Komentar