LC9gBUg7QN0V3hwrLd8lmNtvyApY7ArMY1rVEPEw

Kisah Nasrudin dan Api yang Membangunkan Jamaah

KISAH NASRUDIN DAN API YANG MEMBANGUNKAN JAMAAH

Hari itu, Mullah Nasrudin sedang berkhutbah mengenai pedihnya siksa neraka. Ia mengingatkan jamaah untuk senantiasa waspada dan tidak terbuai oleh kenyamanan dunia. Namun, suasana siang yang hening justru membuat mata mereka kian berat. Tak lama, sebagian besar jamaah tertidur pulas, membiarkan Nasrudin seolah berbicara pada dinding-dinding yang membisu.

Melihat jamaahnya terlelap, Nasrudin tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya, “Api! Api! Api!” Seruannya menggema, memecah kesunyian dan menggetarkan dinding masjid.

Dalam sekejap, para jamaah terbangun dengan jantung berdegup kencang. Mata mereka terbelalak liar, wajah pucat pasi, celingukan mencari jilatan api yang mereka kira akan melahap tubuh mereka. Salah satu dari mereka berteriak histeris, “Di mana apinya, Mullah? Di mana?!”

Nasrudin sama sekali tidak menggubris kepanikan itu. Ia menarik napas pelan, kembali memasang wajah tenang, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada datar: “…api di neraka yang menyala-nyala,” sambungnya santai, seolah keributan barusan tidak pernah terjadi. “Itulah balasan bagi siapa saja yang lalai terhadap peringatan Tuhan.”

Pelajaran dari Kisah Nasrudin dan Api yang Membangunkan Jamaah

1. Kita Sering Lengah Saat Merasa Aman. 

Sering kali, nasihat-nasihat bijak dianggap sepi ketika hidup kita sedang berjalan mulus dan nyaman. Kita merasa bahwa segalanya baik-baik saja, sehingga merasa tidak perlu untuk waspada atau memperbaiki diri. Rasa aman yang berlebihan ini sering menjadi jebakan yang membuat hati dan pikiran kita tertutup dari peringatan-peringatan penting yang sebenarnya demi kebaikan kita sendiri.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menunda kesadaran. Sayangnya, banyak dari kita baru benar-benar "bangun" dan sadar ketika sudah terjadi guncangan hebat, krisis, atau situasi darurat yang memaksa. Kita sering menunggu datangnya "kejutan" yang tidak menyenangkan, barulah kita mau membuka mata dan menyadari kelalaian yang selama ini kita lakukan.

2. Lebih Takut pada Bahaya di Depan Mata.

Reaksi spontan para jamaah yang langsung melompat bangun karena mendengar kata "Api" adalah cermin jujur bagi diri kita sendiri. Hal tersebut membuktikan bahwa kita sangat mencintai keselamatan fisik kita. Kita jauh lebih takut pada api dunia atau bahaya fisik yang bisa melukai kulit kita saat ini juga, sehingga respon tubuh kita menjadi sangat cepat dan sigap untuk menyelamatkan diri.

Sebaliknya, kita sering kali bersikap santai—bahkan sampai tertidur—saat diingatkan tentang bahaya dosa atau balasan di akhirat. Hal ini terjadi karena ancaman spiritual tidak terlihat langsung oleh mata dan efeknya tidak dirasakan seketika. Tanpa sadar, prioritas rasa takut kita menjadi terbalik; kita begitu cemas pada bahaya yang sifatnya sementara, namun meremehkan bahaya yang sifatnya abadi.

3. Menyadarkan Orang Tanpa Perlu Menunjuk Hidung.

Nasrudin menunjukkan cara yang sangat cerdas dalam menegur kesalahan orang lain. Ia tidak memarahi jamaah satu per satu, tidak membentak mereka karena tidur, dan tidak menyebut nama siapa pun yang bisa membuat mereka malu di depan umum. Ia justru menciptakan sebuah situasi atau simulasi yang membuat mereka bangun atas respon mereka sendiri, tanpa merasa dipojokkan secara personal.

Pelajaran berharga di sini adalah bahwa teguran yang efektif tidak harus selalu disampaikan dengan kemarahan yang meledak-ledak. Terkadang, teguran yang disampaikan dengan cara menyindir secara halus atau melalui perumpamaan justru lebih meresap ke dalam hati. Cara ini menjaga harga diri orang yang ditegur, namun tetap memberikan pesan yang kuat agar mereka menyadari kesalahannya.

4. Pentingnya Mengubah Cara Penyampaian.

Ketika kata-kata yang lembut dan nada yang datar sudah tidak lagi didengar, kita tidak boleh menyerah, melainkan harus mengubah strategi. Nasrudin menyadari bahwa ceramah dengan nada biasa justru meninabobokan jamaah. Oleh karena itu, ia tidak melanjutkan cara yang gagal tersebut, melainkan mengubah nadanya secara drastis menjadi teriakan yang genting untuk merebut kembali perhatian mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengeluh jika nasihat baik kita tidak didengarkan oleh orang lain. Kisah ini mengajarkan kita untuk introspeksi; mungkin bukan pesannya yang salah, melainkan cara penyampaian kita yang membosankan atau monoton. Kreativitas dalam menyampaikan kebaikan sangat diperlukan agar pesan tersebut bisa sampai dan diterima dengan baik oleh pendengar.

Posting Komentar