Badai salju musim itu datang lebih awal dan jauh lebih ganas dari perkiraan, memaksa seorang gembala bergegas menggiring kawanan kambingnya masuk ke dalam kandang. Di antara kawanan setianya, terdapat sekelompok kambing liar yang ikut masuk untuk berlindung dari cuaca buruk.
Melihat kambing-kambing liar itu, mata sang gembala berbinar penuh ketamakan. Ia berpikir bahwa ini adalah rejeki nomplok yang akan menggandakan jumlah ternaknya di musim semi tanpa modal sedikit pun.
Pintu kandang segera dikunci rapat, namun masalah baru muncul karena persediaan jerami ternyata sangat terbatas. Di tengah badai yang menimbun jalan keluar, sang gembala harus mengambil keputusan berat membagi pakan. Sayangnya, keputusannya didasarkan pada sifat tamak dan keserakahan.
Ia memandang remeh kawanan kambing lamanya yang telah setia mendampinginya mengembara selama bertahun-tahun. Ia berdalih bahwa mereka sudah terbiasa hidup susah bersamanya dan pasti bisa bertahan dengan sedikit makanan.
Maka, setiap hari sang gembala menumpuk jerami segar yang harum di hadapan para kambing liar untuk memanjakan mereka layaknya raja. Sementara itu, kambing-kambing lamanya hanya diberi sisa-sisa remah jerami berdebu, bahkan terkadang dibiarkan berpuasa seharian.
Hari demi hari berlalu tanpa tanda badai akan reda, membuat kondisi di sudut kandang yang gelap semakin memprihatinkan. Tulang rusuk kambing lama makin menonjol dan mata mereka meredup, mengembik pelan memohon belas kasihan. Namun, sang gembala menutup telinga dan hanya fokus memastikan kambing liar tetap gemuk.
Kesunyian yang mencekam akhirnya melanda kandang itu ketika satu per satu kambing setia itu tumbang tak bernyawa. Tubuh kurus mereka tak mampu menahan dingin dan lapar, mati dalam diam karena dikhianati tuan sendiri.
Ketika badai berhenti dan matahari muncul, gembala menemukan pemandangan mengerikan berupa kaku mayat ternak lamanya. Ia sempat merasa bersalah sejenak, namun segera menghibur diri bahwa ia masih memiliki kambing liar yang gagah sebagai ganti keuntungan yang hilang.
Dengan penuh harap, ia membuka pintu kandang lebar-lebar dan membiarkan sinar matahari masuk menerangi ruangan. Namun, begitu pintu terbuka, para kambing liar yang kondisinya prima itu tidak menunggu sedetik pun untuk tinggal.
Mereka langsung melesat keluar, melompati bangkai kawanan lama yang malang, dan berlari kencang menuju pegunungan. Gembala itu berteriak panik dan berusaha mengejar, mengingatkan bahwa ia sudah memberi mereka makan enak.
Salah satu kambing liar yang paling besar berhenti sejenak di ambang bukit dan menoleh ke arah gembala. Ia menatap tajam ke arah pria yang kini berdiri sendirian di tengah kandang yang penuh kematian itu.
"Kami melihat bangkai ternak setiamu di pojok sana, Gembala," seru kambing liar itu dengan nada dingin. "Jika kau tega membiarkan kawan lamamu mati kelaparan demi kami yang asing, kami tahu nasib buruk apa yang akan menimpa kami nanti."
Dengan satu hentakan kaki, kambing itu berlari menghilang di balik bukit menyusul teman-temannya. Sang gembala jatuh terduduk, menyadari bahwa keserakahannya telah membunuh masa lalunya dan mengusir masa depannya.
Nilai Moral
1. Jangan korbankan kesetiaan demi keuntungan sesaat
Jangan pernah menyia-nyiakan teman yang sudah terbukti setia hanya demi mengejar orang baru yang belum jelas sifatnya. Sang gembala melakukan kesalahan besar karena menelantarkan kambing lamanya yang berjasa demi berharap pada kambing liar.
Akibatnya, ia justru kehilangan harta paling berharga karena salah mengambil keputusan. Seringkali kita tergoda oleh keuntungan sesaat di depan mata, hingga lupa menjaga apa yang sudah kita miliki dengan baik.
2. Karakter asli seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan yang lemah
Sifat asli seseorang bukan dinilai dari keramahannya saat ada maunya, melainkan bagaimana ia memperlakukan mereka yang tak berdaya. Kambing liar sadar bahwa kebaikan gembala hanyalah pancingan semata, sedangkan kekejamannya pada kambing lama adalah watak aslinya.
Orang baru tidak akan percaya pada kebaikan kita jika melihat kita menindas teman lama yang sedang susah. Mereka akan berpikir logis bahwa jika suatu saat nanti mereka tidak lagi berguna, kita pasti akan membuang mereka juga.
3. Keserakahan adalah jalan menuju kehilangan total
Gembala itu tidak merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, sehingga ia ingin menguasai semuanya sekaligus tanpa berpikir panjang. Karena terlalu bernafsu mengejar keuntungan baru, ia justru mengabaikan keselamatan harta yang sudah ada di tangannya.
Sikap serakah dan kurang bersyukur ini akhirnya justru membuatnya celaka. Bukannya bertambah kaya, ia malah kehilangan modal yang sudah ada dan gagal mendapatkan keuntungan baru, sehingga ia berakhir tanpa apa-apa.
4. Kepercayaan itu sulit dibangun, namun mudah dihancurkan
Tindakan gembala membiarkan kambing lamanya mati adalah bukti nyata bahwa ia telah merusak amanah yang seharusnya dijaga. Perbuatan buruk itu menjadi bukti bagi siapa saja bahwa ia bukanlah orang yang pantas untuk dipercaya.
Sekali saja kita menghancurkan kepercayaan, nama baik kita akan tercoreng dan sulit untuk diperbaiki kembali. Orang lain akan takut bekerja sama dengan kita karena tahu kita punya riwayat buruk dalam mengkhianati teman sendiri.

Posting Komentar