Bagi Adrian, Rina bukan sekadar istri, melainkan separuh nyawanya di dunia ini. Ia menganggap Rina sebagai tiang utama yang membuat rumah tangga mereka tetap berdiri kokoh dan terasa hangat.
Adrian rela bekerja banting tulang siang dan malam demi memastikan kebutuhan keluarga mereka tercukupi dengan baik. Sementara itu, Rina menjaga suasana rumah dengan penuh kasih sayang, membuat Adrian selalu rindu untuk segera pulang.
Kehidupan mereka berjalan sangat tenang dan damai, seperti air yang mengalir tanpa hambatan. Namun sayang, kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun itu mulai retak perlahan-lahan karena satu kejadian.
Semuanya bermula dari dering telepon di suatu sore yang mendung saat Rina sedang bersantai. Ibu Rina menelpon dengan nada suara yang terdengar sangat mendesak dan gelisah, membuat perasaan Rina tidak enak.
Sang ibu mengabarkan bahwa Dani, adik Rina, sangat membutuhkan sepeda motor baru untuk keperluan kerjanya. Tanpa motor itu, Dani katanya tidak bisa mendapatkan penghasilan yang layak untuk membiayai hidupnya.
Uang yang diminta ibunya tidak sedikit, jumlahnya mencapai dua puluh juta rupiah dan harus ada sekarang juga. Rina terdiam kaku, ia tahu betul suaminya sangat ketat dan hati-hati dalam mengeluarkan uang untuk hal yang tidak mendesak.
Adrian pasti akan menolak permintaan itu karena dianggap bukan kebutuhan utama dalam rumah tangga mereka sendiri. Hati Rina seketika menjadi bimbang, terbelah antara rasa kasihan pada ibunya dan rasa takut pada suaminya.
Di satu sisi, ia tidak tega membayangkan ibunya bersedih dan kecewa, tapi di sisi lain ia tidak berani berdebat dengan Adrian. Akhirnya, karena panik dan bingung, Rina mengambil keputusan yang salah besar.
Ia memilih jalan pintas dengan meminjam uang melalui aplikasi pinjaman online di ponselnya. Dalam waktu singkat, uang dua puluh juta rupiah itu masuk ke rekeningnya dengan syarat bunga yang sangat tinggi.
"Nanti aku cicil diam-diam pakai uang belanja bulanan," pikirnya dalam hati, mencoba menenangkan diri sendiri. Uang itu segera ia kirimkan ke ibunya, membuatnya merasa lega sesaat karena sudah membantu orang tua.
Namun, ia tidak sadar bahwa ia baru saja menukar kejujuran dalam pernikahannya dengan masalah besar di kemudian hari. Bulan pertama, Rina masih bisa membayar cicilan utang itu dengan cara memotong uang belanja dapur habis-habisan.
Tetapi saat masuk bulan kedua, kebutuhan rumah tiba-tiba membengkak dan uang di tangan tidak cukup lagi. Rina mulai panik luar biasa saat tanggal pembayaran utang semakin dekat.
Ia mencoba meminta bantuan ibunya, tapi ibunya mengaku sedang tidak punya uang sama sekali untuk membantunya. Tak lama kemudian, penagih utang mulai meneror Rina lewat telepon tanpa henti.
Ponselnya terus berbunyi, berisi pesan-pesan kasar dan ancaman yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak setiap malam. Rina berubah menjadi sosok yang pendiam dan wajahnya selalu terlihat pucat karena ketakutan.
Adrian mulai curiga melihat tingkah istrinya yang aneh dan selalu kaget setiap kali mendengar suara telepon berbunyi. Rahasia yang Rina simpan rapat-rapat kini berubah menjadi rasa takut yang terlihat jelas di wajahnya.
Hingga pada suatu malam, Rina akhirnya menangis di kamar mandi karena sudah tidak kuat lagi menahan beban pikiran. Adrian yang mendengar tangisan pilu itu langsung mendobrak pintu karena khawatir terjadi sesuatu pada istrinya.
Sambil menangis tersedu-sedu, Rina akhirnya menceritakan semuanya dengan jujur kepada Adrian. Ia mengaku soal motor adiknya, utang dua puluh juta, dan ancaman penagih utang yang menghantuinya.
Adrian terdiam lama, wajahnya menahan marah dan rasa kecewa yang sangat dalam. Ia merasa dikhianati, bukan karena uangnya hilang, tapi karena Rina tidak jujur padanya sejak awal masalah muncul.
Malam itu juga, Adrian mengambil ponsel Rina dan melunasi semua utang beserta bunganya agar masalah tidak semakin panjang. Ia menatap istrinya dengan pandangan yang sangat dingin, tatapan yang belum pernah Rina lihat sebelumnya.
"Rina, yang kamu hancurkan malam ini bukan cuma uang tabungan kita, tapi kepercayaanku," kata Adrian tegas. "Jangan ulangi lagi, dalam rumah tangga ini tidak boleh ada rahasia di antara kita."
Waktu berlalu, hubungan mereka terlihat membaik di permukaan, meski Adrian menjadi lebih pendiam dari biasanya. Namun, ujian kesetiaan kembali datang enam bulan kemudian.
Ibu Rina kembali menelpon, kali ini meminta lima belas juta rupiah untuk biaya memperbaiki atap rumah yang bocor. Rina kembali panik dan takut Adrian akan marah besar jika tahu ada permintaan uang lagi.
Karena takut bertengkar dan ingin menghindari konflik, Rina kembali melakukan kesalahan yang sama. Ia meminjam uang lagi dari aplikasi lain yang masih mau memberinya pinjaman secara diam-diam.
Ia berpikir kali ini bisa mengaturnya lebih baik, tapi kebohongan pasti akan terbongkar pada akhirnya. Adrian memeriksa catatan bank Rina dan menemukan adanya aliran uang keluar masuk yang mencurigakan.
"Kamu melakukannya lagi, Rin?" tanya Adrian dengan suara pelan yang terdengar sangat menyakitkan. Tanpa banyak bicara, Adrian kembali melunasi utang itu hari itu juga demi nama baik keluarga.
Namun malam itu, Adrian tidak tidur di kamar mereka seperti biasanya. Ia memilih tidur di kamar tamu dan mengunci pintunya rapat-rapat, menciptakan jarak yang nyata di antara mereka.
Rina menangis penuh penyesalan, sadar ia telah melanggar janjinya lagi pada sang suami. Ia bersumpah itu adalah yang terakhir, dan untuk beberapa bulan, ia benar-benar menepatinya.
Sayangnya, permintaan uang datang lagi untuk ketiga kalinya dari ibu Rina yang seolah tidak peduli kondisi anaknya. Kali ini ibunya meminta modal usaha untuk adik Rina sebesar lima belas juta rupiah.
Rina merasa sangat tertekan dan putus asa mendengar permintaan ibunya yang terus memaksa. Ia tahu Adrian tidak akan mau membantu lagi karena sudah terlalu sering dikecewakan masalah yang sama.
Dalam keadaan bingung dan panik, Rina nekat melakukan hal yang sangat fatal dan bodoh. Ia diam-diam mengambil surat-surat mobil (BPKB) milik Adrian dari lemari penyimpanan dokumen.
Ia menggadaikan surat mobil itu ke tempat gadai pinggir jalan demi mendapatkan uang tunai dengan cepat. Ia berpikir ia bisa menebusnya nanti secara diam-diam sebelum Adrian menyadarinya.
Tapi sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya pasti akan tercium juga. Seminggu kemudian, Adrian mencari surat mobil itu untuk mengurus pembayaran pajak kendaraan tahunan.
Dunia Adrian rasanya runtuh seketika saat tahu apa yang telah dilakukan istrinya di belakang punggungnya. Malam itu ia pulang kerja dan meletakkan bukti pelunasan gadai di atas meja makan.
Rina gemetar ketakutan, kakinya lemas menunggu kemarahan Adrian meledak. Namun, Adrian justru bicara dengan nada yang sangat tenang dan tatapan mata yang kosong hampa.
"Aku sudah lunasi semuanya, Rina, termasuk surat mobil ini sudah aku ambil kembali," kata Adrian pelan. "Tapi maaf, aku rasa aku tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan ini denganmu."
"Tiga kali kamu memilih berbohong daripada bicara jujur sama aku," lanjutnya dengan suara bergetar menahan tangis. "Kalau kamu lebih mementingkan keluargamu dengan cara menipuku, lebih baik kita pisah saja."
Kata "pisah" itu membuat Rina lemas seketika, seolah tubuhnya disambar petir di siang bolong. Ia menangis histeris, bukan lagi karena takut ditagih utang, tapi karena sadar pernikahannya hancur berantakan.
Ia mungkin berhasil membantu keluarganya, tapi ia harus membayar mahal dengan kehilangan suaminya sendiri. Rina telah gagal total dalam menjaga kepercayaan yang diberikan Adrian padanya.
Seharusnya ia berdiskusi dengan suami, bukan mengambil keputusan sendiri yang salah dan merugikan. Kini, nasi sudah menjadi bubur, Rina harus menerima kenyataan pahit akibat ketidakjujurannya sendiri.
Disclaimer: Hanya cerita fiksi untuk bacaan di kala senggang. Cerita terinspirasi dari sebuah curhatan di media sosial
.jpg)
Posting Komentar