Lia, Rina, Maya, Dewi, dan Sari telah menjalin persahabatan erat sejak masa sekolah. Sore itu, mereka berkumpul di kafe langganan, menikmati waktu luang jauh dari rutinitas rumah tangga. Di tengah gelak tawa, Rina tiba-tiba melontarkan sebuah ide gila yang dianggapnya sangat lucu.
Ia mengusulkan sebuah tantangan untuk menguji seberapa besar cinta suami mereka masing-masing. Aturannya ketat: mereka harus berbicara secara langsung di hadapan suami mereka dan meminta bercerai. Alasan yang digunakan sudah ditentukan, yakni "sudah tidak bahagia lagi".
Maya, Dewi, dan Sari langsung menyambut ide itu dengan antusiasme tinggi. Bagi mereka, ini hanyalah permainan seru untuk melihat ekspresi panik atau bujuk rayu romantis dari pasangan mereka. Mereka membayangkan adegan manis di mana para suami akan berlutut memohon cinta mereka kembali.
Berbeda halnya dengan Lia, hatinya mendadak terasa berat mendengar usulan tersebut. Ia merasa pernikahan adalah sebuah institusi sakral yang tidak pantas dijadikan bahan lelucon. Lia mencoba menolak dengan halus, mengingatkan bahwa setiap suami memiliki karakter yang berbeda.
Ia menjelaskan bahwa Bima, suaminya, adalah pria yang sangat serius dan kaku. Lia khawatir Bima tidak akan memiliki selera humor yang sama dengan suami teman-temannya jika mendengar kata-kata itu langsung dari mulutnya. Namun, penolakan halus Lia justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri di hadapan teman-temannya.
Mereka mulai memojokkan Lia, menuduhnya tidak setia kawan dan terlalu kaku menanggapi hidup. Ejekan demi ejekan meluncur, menyindir bahwa Lia mungkin takut ketahuan kalau suaminya tidak benar-benar mencintainya. Karena tidak ingin dianggap pengecut dan perusak suasana, pertahanan Lia akhirnya runtuh.
Dengan perasaan ragu yang masih menyelimuti hati, Lia menyetujui tantangan bodoh itu. Sore itu juga, teman-temannya bergegas pulang lebih awal untuk menemui suami mereka dan menjalankan misi tersebut. Tak butuh waktu lama, grup percakapan mereka ramai dengan laporan kemenangan yang penuh emoji tawa.
Rina bercerita bahwa suaminya langsung memeluknya erat dan membelikan bunga sebagai tanda cinta saat ia minta cerai. Maya melaporkan bahwa suaminya bahkan langsung menjanjikan liburan romantis ke Bali agar istrinya tidak jadi pergi. Reaksi serupa juga didapatkan oleh Dewi dan Sari, di mana suami mereka memohon agar pernikahan tetap dipertahankan.
Keempat sahabat itu merasa di atas angin, tertawa puas karena merasa berhasil memenangkan ujian kesetiaan tersebut. Kini, tekanan sepenuhnya berada di pundak Lia. Ia harus melakukan hal yang sama persis saat Bima pulang kerja nanti malam.
Malam pun tiba, suara mobil Bima terdengar memasuki garasi, membuat jantung Lia berdegup kencang tak karuan. Ia duduk di sofa ruang tamu, meremas tangannya sendiri untuk mengusir rasa gugup yang mencekik. Saat Bima masuk dan duduk melepas lelah, Lia memaksakan diri menatap wajah suaminya.
"Mas, aku rasa kita harus bercerai, aku sudah tidak bahagia lagi bersamamu," ucap Lia dengan suara bergetar di hadapan Bima. Ia menunggu reaksi panik, pelukan, atau bujukan seperti yang dialami teman-temannya. Namun, ruangan itu justru hening.
Berbeda drastis dengan suami teman-temannya, Bima hanya diam membeku di tempatnya. Ia menatap mata Lia dengan sorot tajam yang sulit diartikan, seolah mencari kebenaran di sana. Tanpa satu kata pun, tanpa pertanyaan, dan tanpa usaha membujuk, Bima perlahan bangkit dari sofa.
Ia mengambil kembali kunci mobil yang baru saja diletakkannya di atas meja. Langkahnya tegap meninggalkan Lia yang kini mematung dalam kebingungan luar biasa. Suara mesin mobil yang menjauh menjadi satu-satunya jawaban yang Bima berikan malam itu.
Kepanikan segera menggantikan rasa gugup Lia, menyadari skenario yang ia bayangkan berantakan total. Ia segera mengirim pesan bertubi-tubi pada Bima, menjelaskan bahwa itu semua hanya lelucon bodoh antar teman. Namun, semua pesannya hanya berakhir dengan centang satu, pertanda ponsel Bima tidak aktif.
Dua hari berlalu dalam keheningan yang menyiksa batin Lia. Bima tidak pulang ke rumah dan jejaknya seolah hilang ditelan bumi, tidak bisa dihubungi oleh siapa pun. Lia menghabiskan waktunya dengan menangis, berharap pintu rumah terbuka dan Bima kembali.
Pada hari ketiga, sebuah amplop resmi tiba di rumah mereka, namun bukan diantar oleh Bima. Surat itu dikirim oleh pengacara, berisi pemberitahuan permohonan cerai talak yang diajukan oleh Bima. Dunia Lia seketika runtuh, menyadari bahwa keisengan konyol itu telah menjadi akhir tragis pernikahannya.
Lia hancur lebur, akhirnya menyadari betapa mahalnya harga sebuah permainan bodoh demi validasi teman. Ia telah mempertaruhkan seluruh fondasi rumah tangganya hanya untuk tawa sesaat yang bahkan tak pernah ia nikmati. Kata "cerai" bagi Bima bukanlah mainan yang bisa ditarik ulur sesuka hati.
Ia kini paham bahwa hubungan yang matang dibangun di atas rasa hormat, bukan diuji dengan manipulasi emosi. Teman-temannya mungkin masih tertawa bahagia, aman dalam pelukan suami mereka yang pemaaf. Namun, Lia kini sendirian, menghadapi reruntuhan hidup yang ia ciptakan sendiri.
Dalam kesendiriannya, Lia sadar bahwa diamnya Bima mungkin adalah jawaban atas luka lama yang terpendam. Kalimat cerai darinya hanyalah pemicu terakhir yang meledakkan bom waktu dalam pernikahan mereka. Lia belajar dengan cara paling menyakitkan: mendengarkan hasutan orang lain daripada menjaga perasaan pasangan adalah kebodohan terbesar.
Disclaimer: Hanya cerita fiksi untuk bacaan di kala senggang. Cerita terinspirasi dari sebuah video di media sosial.

Posting Komentar