Aroma ayam panggang dengan bumbu tebal menyeruak keluar dari jendela ruang makan yang terbuka lebar, tempat Mullah Nasruddin duduk menghadapi hidangan itu. Ia menyobek paha yang berminyak dengan tangan kosong, lalu melahapnya dengan kenikmatan yang luar biasa diiringi desah kepuasan. Mulutnya penuh sesak, sementara matanya terpejam menikmati setiap gigitan daging yang empuk tanpa mempedulikan orang yang lalu lalang.
Seorang teman lama Nasruddin yang kebetulan lewat seketika menghentikan langkahnya karena aroma lezat yang menampar hidungnya. Sebenarnya perutnya masih kenyang, namun melihat betapa khusyuknya Nasruddin makan tepat di balik bingkai jendela itu, air liurnya mendadak menetes. Rasa kenyangnya lenyap, digantikan hasrat tak tertahankan untuk ikut mencicipi hidangan tersebut.
Tak tahan lagi, ia menyandarkan sikunya di bingkai jendela yang terbuka itu dan menyapa, "Mullah, kulihat ayam itu terlalu besar untuk kau habiskan sendiri." Ia mendekatkan wajahnya, berharap Nasruddin akan peka dan menggeser piringnya sedikit ke arah jendela. Temannya itu sudah membayangkan rasa kulit ayam yang renyah di lidahnya.
Nasruddin menoleh sekilas tanpa menghentikan kunyahannya, lalu menelan daging di mulutnya dengan suara yang keras. "Kau benar sekali, Kawan, ayam ini memang luar biasa besar dan nikmat," jawab Nasruddin santai, suaranya terdengar jelas karena tidak terhalang apa pun. Namun, ia sama sekali tidak menggeser piringnya, malah mengambil potongan dada ayam yang besar.
"Ayolah," bujuk temannya dengan nada memelas, "berilah aku sedikit saja, kau makan tepat di depan hidungku membuatku tiba-tiba sangat lapar." Ia menatap sisa ayam yang kini tinggal separuh itu dengan pandangan penuh harap. Ia yakin Nasruddin yang dikenal bijak tak akan membiarkan temannya kelaparan begitu saja.
Nasruddin menghela napas panjang, lalu memasang wajah penuh penyesalan yang tampak sangat meyakinkan. "Percayalah, kalau ayam ini milikku, sudah kuberikan seluruhnya padamu tanpa sisa," katanya dengan nada sedih yang dibuat-buat. Ia mengangkat bahu seolah tak berdaya menolak permintaan itu.
"Tetapi masalahnya, ayam ini sepenuhnya milik istriku," lanjut Nasruddin sambil kembali menggigit daging terakhir. Temannya mengernyit bingung, "Lalu apa hubungannya?" Nasruddin menjawab enteng, "Istriku memintaku untuk menghabiskannya, jadi aku tak punya hak sedikit pun untuk melanggar perintahnya dengan membaginya padamu."
Pelajaran Yang Dapat Dipetik dari Kisah Nasruddin: Ayam Milik Istri
1. Manusia pintar mencari alasan untuk kepentingannya sendiri.
Nasruddin menunjukkan sifat asli manusia yang sering mencari alasan masuk akal untuk menutupi keinginan pribadinya. Ia menggunakan nama istrinya sebagai tameng agar penolakannya terdengar wajar dan tidak terlihat pelit di depan temannya.
Padahal, itu hanyalah taktik cerdik supaya ia bisa menghabiskan ayam panggang itu sendirian dengan tenang. Ia melakukan hal ini semata-mata agar bisa menolak berbagi tanpa perlu merasa bersalah sedikit pun.
2.Hak untuk menolak dan menikmati milik sendiri.
Nasruddin mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki hak penuh atas barang miliknya sendiri. Tidak ada aturan wajib yang mengharuskan kita untuk selalu berbagi apa yang kita punya kepada orang lain.
Keputusan untuk menolak permintaan teman adalah tindakan yang sah, meskipun alasan yang dipakai terdengar mengada-ada. Berbagi adalah pilihan kebaikan hati, bukan sebuah kewajiban atau utang yang bisa dipaksakan orang lain kepada kita.
3. Berharap pada orang lain sering berujung kecewa.
Teman Nasruddin merasa kecewa karena ia terlalu yakin bahwa Nasruddin pasti akan berbaik hati memberinya makanan. Ia menaruh harapan tinggi bahwa keinginannya akan dipenuhi dengan mudah hanya dengan meminta-minta.
Cerita ini menjadi pengingat agar kita tidak menggantungkan kebahagiaan atau keinginan kita pada kebaikan orang lain. Kenyataan yang terjadi di lapangan sering kali tidak seindah apa yang kita bayangkan di kepala.
4. Jangan mudah tergoda oleh apa yang dilihat mata.
Teman Nasruddin sebenarnya sudah merasa kenyang, tetapi mendadak ingin makan hanya karena melihat orang lain makan dengan lahap. Ini adalah contoh nyata dari "lapar mata" yang sering menjebak kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kita harus bisa membedakan antara kebutuhan perut yang asli atau sekadar keinginan sesaat karena godaan visual. Jangan sampai kita terjebak menginginkan sesuatu hanya karena iri melihat kenikmatan yang dirasakan orang lain.
5. Strategi "Kambing Hitam" dalam negosiasi.
Nasruddin menunjukkan trik untuk menolak permintaan dengan cara menyalahkan orang lain yang tidak ada di tempat, yaitu istrinya. Dengan alasan "perintah istri", ia mengubah citra dirinya dari orang yang pelit menjadi suami yang patuh.
Cara ini membuat lawan bicaranya kehabisan kata-kata dan tidak bisa mendebat lagi. Banyak orang sering menggunakan taktik berlindung di balik aturan atau nama orang lain demi mengamankan kepentingan pribadinya dengan aman.

Posting Komentar