Suatu ketika, Nasruddin memiliki seekor domba yang sehat dan gemuk. Bulunya bersinar bersih dan tubuhnya begitu padat, menandakan hewan itu dirawat dengan penuh kasih sayang.
Sekelompok teman Nasruddin yang cerdik namun licik, sudah lama mengincar domba tersebut. Setiap kali melihat hewan itu lewat, mereka menelan ludah, membayangkan betapa lezatnya daging domba itu jika dipanggang dengan bumbu rempah yang gurih.
Sebenarnya, mereka ingin sekali membujuk Nasruddin agar menyembelih domba itu untuk disantap bersama-sama. Namun, mereka sadar Nasruddin tidak mungkin memberikan harta kesayangannya itu begitu saja hanya untuk pesta biasa. Maka, mereka berkumpul dan menyusun sebuah siasat licik untuk memperdayanya.
Salah satu teman mendatangi Nasruddin dengan wajah panik yang dibuat-buat dan berkata, "Nasruddin, apakah kamu sudah dengar kabar buruk? Besok adalah hari kiamat!" Awalnya Nasruddin hanya diam tak menanggapi, namun teman-temannya yang lain datang silih berganti dengan wajah serius, mengulangi kebohongan yang sama.
Mereka terus mendesak Nasruddin untuk merelakan dombanya agar bisa dinikmati bersama sebagai pesta perpisahan dunia. Nasruddin, yang akhirnya paham bahwa ia sedang dikerjai, memutuskan untuk mengikuti permainan mereka. Ia mengangguk pasrah dan berkata, "Baiklah, jika besok memang kiamat, tidak ada gunanya aku menyimpan domba ini. Mari kita pergi ke tepi sungai dan berpesta."
Keesokan harinya, mereka pergi ke sebuah tempat yang asri di tepi sungai. Teman-temannya sangat bersemangat; mereka segera menyembelih domba itu, membumbuinya, dan mulai memanggangnya di atas api unggun yang besar.
Matahari siang itu bersinar sangat terik membuat udara terasa panas menyengat. Karena daging butuh waktu lama untuk matang, teman-teman Nasruddin memutuskan untuk mendinginkan diri. Mereka menanggalkan jubah, baju, dan celana, menumpuknya di dekat Nasruddin, lalu melompat ke sungai yang jernih.
Nasruddin duduk menjaga panggangan seorang diri. Sebenarnya kayu bakar masih cukup banyak tersedia, namun melihat tumpukan pakaian teman-temannya, sebuah ide jahil melintas di benaknya untuk memberi pelajaran atas kelicikan mereka.
Dengan tenang, ia mengambil pakaian-pakaian itu satu per satu. Tanpa ragu sedikit pun, ia melemparkan baju, celana, dan sorban teman-temannya ke dalam kobaran api. Ia membiarkan kain-kain itu hangus dan menjadi abu, menyatu dengan bara kayu di bawah panggangan.
Tak lama kemudian, teman-temannya kembali dari sungai dengan tubuh segar namun perut lapar. Langkah mereka terhenti seketika saat melihat tempat mereka menaruh pakaian kini sudah kosong melompong.
Mereka menoleh panik ke arah panggangan dan melihat sisa-sisa kain yang sudah menghitam menjadi arang di bawah daging domba. Mereka berteriak marah, "Nasruddin! Apa yang kamu lakukan? Di mana pakaian kami? Kenapa kamu membakarnya padahal kayu masih ada?"
Dengan santai, Nasruddin membalik daging domba yang sudah matang sempurna itu. Ia tersenyum tipis dan menjawab, "Kenapa kalian begitu marah dan meributkan baju? Bukankah besok kiamat? Kalian tentu tidak akan butuh pakaian di hari kiamat, kan?"
Pelajaran dari Kisah Nasruddin: Pesta Domba Sebelum Hari Kiamat Tiba
Kisah ini memberikan tamparan keras bagi mereka yang suka memanipulasi orang lain dengan kebohongan demi keuntungan pribadi. Teman-teman Nasruddin menciptakan narasi palsu tentang "kiamat" hanya untuk menipu Nasruddin agar menyerahkan hartanya.
Tindakan Nasruddin yang sengaja membakar pakaian bukanlah sekadar balas dendam emosional, melainkan sebuah bentuk konsistensi logika yang brilian. Ia memaksa teman-temannya untuk hidup dalam konsekuensi "kebenaran" yang mereka ciptakan sendiri. Pesannya jelas: jika Anda berani berbohong soal hari akhir, Anda harus siap menerima konsekuensi hidup tanpa harta duniawi, termasuk pakaian yang melekat di badan.
Sering kali dalam hidup, kita meremehkan kecerdasan orang lain dan menganggap mereka mudah ditipu hanya karena mereka diam. Kita lupa bahwa orang yang diam bukan berarti tidak tahu; bisa jadi mereka sedang menyiapkan skenario untuk membalas kita.
Intinya, kejujuran adalah jalan terbaik dalam menjalin hubungan dengan sesama. Janganlah kita menggunakan tipu daya atau memanipulasi keadaan demi keinginan sesaat. Kisah ini menjadi pengingat jenaka bahwa siapa yang menggali lubang perangkap untuk orang lain, sering kali ia sendirilah yang akan terperosok ke dalamnya.
Catatan:
Kisah ini merupakan penceritaan ulang yang telah mengalami penyesuaian pada alur dan narasi, termasuk penambahan detail cerita serta penambahan nilai moral. Cerita ini diadaptasi dari kisah dalam Der Hodscha Nasreddin I. Band karya Albert Wesselski, yang tersedia sebagai karya domain publik, antara lain melalui Project Gutenberg: https://www.gutenberg.org/ebooks/54690

Posting Komentar